Women Vs Her Inner Housewife

“Salah satu alasan mengapa sebagian orang kontra dengan Hari Ibu adalah karena Ibu saja tak pernah memiliki jeda libur dalam mengemban tugasnya menjadi Ibu. Bahkan di tanggal merah sekalipun. Kasih sayang padanya harusnya dirayakan setiap saat. Terutama di waktu kita berdoa pada Tuhan.”

Pagi itu, aku terbangun dari tidur karena mendengar Ibuku menangis terisak di ruang tamu. Beberapa kalimat dzikir terucap di bibirnya yang terdengar sedikit tersendat karena beliau mengucapkannya sambil menangis. Seketika aku terbangun dan bergegas menghampirinya. Kepalaku mulai menebak apa yang membuat Ibuku menangis dengan seseorang yang sekarang sedang menghubunginya lewat telepon.

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun …” Kata-kata itu keluar dari mulut beliau, dengan isakan yang semakin pilu.

Aku bergegas mengelus punggung beliau. Setelah kalimat itu terucap, aku sudah tahu. Semua potongan-potongan puzzle di kepalaku membentuk kesimpulan yang dengan cepat membuat aku menangis juga.

Pagi itu ibu dari ibuku meninggal dunia

                Dengan isakan tangis yang masih tersisa, setelah panggilan telepon itu terputus, Ibu mengabarkannya padaku. Semua terjadi serba cepat. Ibuku bergegas pulang ke Jember setelah berita duka itu sampai.

                                Keluarga kami berkumpul di Jember hari itu. Mungkin di momen yang berbeda, itu adalah momen paling menyenangkan saat kami semua bisa berkumpul lengkap. Rumah nenek selalu menjadi alasan pulang paling hangat saat liburan. Namun hari itu, semuanya berbeda. Pemandangan mata-mata sembap, tikar-tikar yang digelar, hilir-mudik manusia yang nyelawat. Dan bagian paling sedihnya, Ibuku tidak pernah berkesempatan untuk melihat wajah ibunya terakhir kali karena perjalanan Malang-Jember yang ditempuh tidak dekat, dan kesepakatan para pengurus jenazah yang ingin segera menguburkan mayat nenekku.

                                “Tidak pernah ada yang sama saat Ibu sudah nggak ada, Nduk. Mama tahu rasanya ditinggal Akung (Bapak) dan ditinggal Umi. Beda rasa sakitnya.”

                                Hari itu banyak hal berputar di kepalaku. Rasa sedih, kehilangan, kecewa, ikhlas yang diupayakan, semuanya bercampur menjadi satu. Tapi aku tidak bisa berlama-lama disana, malamnya aku pulang bersama adikku karena kuliahku belum libur.

Hanya berdua. Dan sebenarnya tulisan itu adalah tentang ini.

***

Dulu aku merantau di Sudan hampir 4 tahun lamanya. Dan kukira waktu yang tidak sebentar itu mampu membuat aku bisa mengurus banyak hal di rumah tanpa seorang Ibu. Toh di Sudan, aku terbiasa punya jadwal piket masak, mencuci, menyetrika, ngampus, organisasi, dan semua kegiatan lain. Jadi apa bedanya melakukan semua hal itu di rumah dengan di Sudan? Hanya ketambahan mengurus adikku yang gampang lapernya doang.

Tapi ternyata aku salah. Di Sudan aku mengurus diriku sendiri. Momen saat ditinggal tanpa Ibu di rumah, aku harus mengurus orang lain juga. Dulu di Sudan masak sehari sekali aja, itupun shift piket jadi ga perlu setiap hari berhadapan sama perdapuran. Tapi sekarang harus memikirkan masak apa pagi, siang, malemnya. Dulu di Sudan aku cukup menyetrika bajuku saja. Tapi sekarang tumpukan pakaian bersih bertambah kuotanya. Dulu di Sudan aku cuma tinggal di asrama dan ada temanku orang Nigeria yang suka bersih-bersih, menyapu, dan mengepel kamar, jadi aku bebas dari pekerjaan rumah. Tapi disini semua bagian rumah adalah tanggung jawab. Kamar, ruang tamu, dapur, halaman rumah, lorong, jadwal buang sampah yang berkejaran sama jadwal keliling petugas sampah.

Belum lagi bertepatan dengan akhir bulan dan semua barang di rumah habis. Dulu di Sudan aku hanya memikirkan beli sabun mandi, odol, dkknya. Dan untuk diri aku sendiri. Aku ngga pernah terpikir kalau di rumah sabun itu banyak macemnya; sabun cuci piring, sabun cuci baju, pewangi pel-pelan, dsb. Kalau beli sikat gigi ga cukup satu. Kalau beli pasta gigi ga mungkin ukuran mini. Dan ternyata beli kebutuhan kek gitu, ditambah kebutuhan mck, anggarannya ga sedikit. Apalagi kalau bumbu-bumbu dapur semuanya juga pada abis.

Sebenarnya momen ditinggal tanpa Ibu ini juga aku gunakan sebagai riset tentang inner housewife-ku. Apa bener aku punya itu? Sebuah fitrah cewe kalau dia bisa ngurus rumah seperti yang dilakukan Ibunya. Karena aku memang menghabiskan banyak waktu mandiri, tapi hanya mengurus diriku sendiri dalam hal domestik, dan jarang sekali bersentuhan dengan pemandangan riwehnya Ibu mengurus itu setiap hari.

Bangun pagi otak yang biasanya cuma mikir sekarang kuliah jam berapa dan beberapa pekerjaan rumah yang Ibu perintahkan. Sekarang semuanya masuk ke list tugas. Betapa riwehnya ternyata sebelum kuliah harus nyapu, ngepel, muter cucian, sama muter otak pagi ini harus masak apa.  Belum lagi karena aku sangat noob dalam hal permasakan, harus bgt liat video youtube sebelom masak, takutnya bikin mie goreng jawa tapi bumbunya soto lamongan. Jauh amat.

Dan soal money management, beberapa kali aku tertegun kenapa beberapa lembar ratusan ribu di dompetku sudah habis, padahal masih tiga hari. Uang yang biasanya dalam kondisi normal bisa kubuat checkout shoppee, jajan, beli skincare, ternyata dalam manajemen keuangan rumah tangga hanya bisa untuk bertahan hidup sehari-hari. Beberapa kali relate bgt sama video yang pernah aku temuin di sosmed, tentang buibu yang makan sambil ngelamun, karena mikir tadi uangnya kepake buat apa aja ya ko bisa abis.

Dan itu benerr bgt. Perasaan beberapa hari ini aku sama adikku cuma jajan cimin, gorengan , sama es krim. Budget ga sampe lima puluh ribu. Makan setiap hari masak sendiri.

Terus kemana uang itu pergi???

Jadi aku mulai mewajari kenapa kalau di jalan banyak ibu-ibu yang mau belok kanan tapi lampu sen ke kiri, ternyata yang dipikirin emang banyak sekali.

Aku juga mulai tahu kenapa kadang Ibu diem sendiri. Ternyata otaknya selalu dipakai memikirkan anggota keluarga yang lan dan urusan rumah tangga yang ga sedikit.

                Dan tulisan ini sebenarnya untuk jadi pengingat buat diriku sendiri. Kalau menjadi seperti Ibu itu sulit. Dan aku menulisnya lewat perspektif Ibu Rumah Tangga karena ibuku adalah mantan pekerja kantoran yang resign supaya bisa mengajariku mengaji.

Karena hal itulah aku tidak tergoda dengan isu feminisme soal wanita karir, kesetaraan, apalagi pengerdilan tugas menjadi Ibu Rumah Tangga. Karena walau tidak ada gajinya, tidak ada cutinya, jarang diapresiasi, Ibuku adalah orang yang rela meninggalkan hal itu untuk mengajariku mengaji.

                Merasakan posisi ini membuat aku salut dengan Ibuku, juga ibu-ibu di luar sana. Entah apapun profesi mereka. Seorang wanita karir, full time mom,  dua-duanya, atau justru single mother. Kalian hebat sekali. Pantas doa Ibu adalah doa yang didengar malaikat dan Tuhan. Kita ga tahu previlege itu harus Ibu bayar dengan pengorbanan apa. Hanya seorang ibu yang tahu sendiri lika-liku mengemban tugas abadinya. Kita hanya tau luarnya saja. Hanya tau sedit saja.

                Dan semua perempuan ternyata memiliki fitrah inner housewife di diri mereka sendiri. Hanya saja kehidupan saat menjadi Ibu yang berbeda dengan kehidupan saat dia menjadi perempuan yang masih sendiri, menjadikan banyak perempuan baru bisa merasakan inner housewife itu di momentum saat Allah memberinya kesempatan untuk menjadi Ibu.

                Di fase ini aku merasakan bahwa, menjadi perempuan berdaya ga hanya tentang kontribusi di ranah yang luas, berprestasi, menjadi perempuan pintar yang tetap senantiasa takut dengan Tuhannya. Tapi juga seharusnya memantaskan dalam hal memberi ruang untuk terhubung dengan fitrah-fitrah yang memang Allah berikan pada dia sebagai seorang makhluk bernama perempuan. Fitrahnya bersentuhan dengan rumah. Fitrahnya memiliki keteduhan sebagai sebuah rumah.

Selamat merayakan hari ibu tanpa berbatas tanggal, ruang, dan waktu dari tulisanku yang semrawut.

 

Komentar

Postingan Populer