Setelah Berdamai dengan Diri Sendiri


Sebelum melanjutkan membaca kata-kata yang bertebaran selanjutnya, kuingatkan, kalau aku selalu membuat blog dengan khas yang bertele-tele dalam menyampaikan satu hal. Jadi kalau kamu ingin langsung mencari jawaban, sebaiknya jangan diteruskan membaca. Lanjutkan saja aktivitas scroll yang menipiskan umur kebosanan. Atau baca doa bobok malam terus bilang good night buat dirimu sendiri yang sering kesepian. Boleh jadi yang nulis juga lagi ruwet dan kamu yang lagi ruwet tambah ribet. Aih, kita manusia yang kadang sama-sama mumet.

Akhir-akhir ini aku dibuat kagum dengan pencapaian teman-temanku. Sebagian besar ada yang sebar undangan menikah. Sebagian lagi upload foto keliling tempat-tempat wisata di Indonesia. Sebagian diberi kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga. Beberapa temanku ke Tanah Suci sambil membantu jamaah. Sebagian  yang lain berkhidmat untuk sekelilingnya dengan berbagai bentuknya, aku selalu kagum dengan kebaikan-kebaikan yang mereka berikan.

Mungkin karena dikelilingi dengan pencapaian-pencapaian teman-teman, alih-alih berpikir kapan waktuku untuk bisa memiliki hidup seperti mereka. Pertanyaan itu justru datang dari orang lain. Yang ternyata lebih teramat sangat pool peduli dengan hidupku ini. Sengaja kubuat boros dan hiperbola, toh disini siapa juga yang peduli dengan kaidah bahasa bejibun yang bikin kata-kata kehilangan perasaan. Bodo amat.

Awalnya kuhadapi saja dengan tidak peduli, menjawab sesantun mungkin, bahwa aku janji aku akan berproses untuk jalan hidupku sendiri. Tapi mungkin karena kuantitasnya sering, akhirnya mau ga mau jadi dipikir. Apakah pencapaian orang lain harus masuk juga kedalam pencapaianku sendiri?

Sulit rasanya berdamai saat hati tidak punya rasa sabar. Kapan waktunya? Harus bagaimana? Seperti apa cara menjalaninya? Bagaimana meyakinkan kalau kita memang butuh waktu untuk sekedar siap menjalani takdir yang orang lain justru sedang berbondong-bondong menjalaninya?

Apakah nanti aku akan kesepian diantara pencapaian manusia?

Andai nanti aku tidak menjadi apa-apa, apakah ada manusia-manusia yang mau menerima? Kalau memang ada, apakah aku akan menjadi teramat sangat merepotkannya?

Perjalanan riuh itu akhirnya mengantarku pulang. Iya. Pulang pada diriku sendiri. Pulang ke rumahku sendiri. Sejak mulai mencoba berkenalan dengan diriku, aku selalu mengibaratkan dia sebagai rumah. Tempat aku memilah mana pondasi nilai-nilai yang harus kupertahankan, mana yang harus kubuang dan kurenovasi menjadi lebih baik dari sebelumnya, di rumah itu, juga ada ruang-ruang berantakan, yang belum aku bereskan sempurna, namun semakin dewasa, aku tahu aku sedang bersusah payah menyelesaikannya.

Hari itu aku pulang. Menepuk pintu diriku yang riuh. Dan ternyata, dia membukakan pintu untukku. Memelukku erat. Mengajakku mendalaminya. Di rumah diriku, aku tahu kalau ia punya banyak jendela, kadang aku saja yang salah melihat sudut pandangnya. Pada saat itu, ia mengajakku untuk menerima kalau sejak awal, rumah ini tidak diciptakan untuk menerima aku dan sempurna. Namun sebaliknya, dia diciptakan untuk menjadi tempat pulang yang menerima kekuranganku dengan cara yang paling sempurna.

Akhirnya aku bisa bernapas lebih lega. Kuperhatikan mana bagian rumahku yang bisa kuberikan pada hidup manusia lainnya tanpa harus berlari mencapai pencapaian selanjutnya. Ternyata ada. Lantas kubuka lebar-lebar pintuku supaya bagian yang aku rasa hangat di rumahku, mampu juga menghangatkan manusia lain disekitarku.

Namun diriku tak mengajakku duduk lama di ruangan hangat itu, ia membawaku ke bagian-bagian yang belum aku selesaikan. Bagian yang dingin. Senyap. Dan tetap sesak.  Itu adalah ruangan dengan luka-luka dan beberapa hal yang dewasaku belum mampu menyelesaikannya.

“Manusia selalu berpikir bahwa menerima diri sendiri adalah pintu kemenangan paling akhir, Ra, untuk menjalani hidup ini. Dan mereka salah.”

Aku diam. Supaya aku bisa lebih jelas mendengar suara diriku sendiri. “Setelah kamu menerima, kamu harus tahu kalau harus ada aksi untuk memperbaiki dirimu sendiri. Di dunia ini hanya manusia-manusia malas dan tidak punya tujuan yang menjalani hidup dengan semboyan jalani saja padahal tak sekalipun dia pernah memperhatikan jalannya. Apakah rute hidupnya sudah di jalan yang benar atau tidak.”

Semua hening. Lampu-lampu yang redup berkedip. Aku ingin menjawab suara diriku saat dia ternyata belum ingin mengizinkanku bicara. “Besok lusa kamu akan menjadi rumah untuk manusia yang lain. Dan mengizinkan manusia untuk tinggal dalam dirimu tidak cukup hanya dengan menerima kekuranganmu. Kamu harus bisa berberes dengan kekurangan itu.”

Hari itu sejenak aku pamit dari rumah diriku. Untuk memikirkan apa yang diucapkannya. Dan nasehat-nasehat diriku itu turut ikut kubawa serta. 

“Pelan-pelan ya. Jangan pernah ngerasa sepi dengan proses ini. Jangan khawatir, aku akan setia nunggu kamu dan versi lebih baikmu selama apapun waktu yang kamu butuhin buat ngejalanin itu …” saat menutup pintu rumah diriku, itu pesan terakhir yang dia bilang pada wajahku yang gamang waktu itu. Bekas riuh-rendah yang redam oleh sunyi yang masih asing di kepala.

Aku melangkah menjauh namun hatiku lamat-lamat melantunkan doa rahasia pada Tuhanku.

 Aku ingin memulai jalan yang lebih baik dengan lebih mendekat pada penciptaku. Ya, itu selalu menjadi awal yang baik untuk memulak perjalanan hidup.

Sejak hari itu aku tidak ingin membuat kompetisi dengan siapapun lebih dari kompetisi yang kubuat dengan diriku. Sejak saat itu aku tidak lagi meremehkan tujuan hidup. Aku mencoba kembali mencari, memilah, memungut, peta masa depan yang sebelumnya sudah kuterbangkan jadi puing-puing karena kemalasanku sendiri.

Aku ingin membaik, supaya rumah diriku yang penuh compang-camping itu direnovasi. Aku ingin aku selalu punya sesuatu yang baik untuk dibagi dengan manusia lain. Tanpa harus menunggu momentum apalagi sekedar jabatan untuk melakukan itu pada yang lain.

Ini bukan hanya soal kelak yang baik akan bertemu pula dengan yang baik. Walaupun siapa sih yang sudah berjuang baik tidak ingin mendapat yang baik.

Ini tentang rumah. Yang harus diperbaiki. Supaya bisa menjadi tempat yang nyaman untuk pulang, minimal bagi diri sendiri. Bagus-bagus bisa menjadi tempat yang baik untuk manusia lain.

Ini juga tentang pertanggung jawaban hakiki. Saat besok lusa menghadap Tuhan dan ditanya sudah melakukan apa aja saat diri ini dikasih waktu berbakti.

Perjalanan yang lama. Yang menguras banyak hal. Diiringi dengan pencapaian-pencapaian manusia yang silau-menyilaukan. Kehilangan. Air mata. Hati yang ditekan untuk lapang. Mungkin rasa-rasa tidak nyaman yang ikut serta.

Semoga bisa ada damai yang ikut serta.

Semoga kita termasuk manusia yang pintar

bersyukur pada sesuatu yang ada

Dan pintar berbahagia pada sesuatu yang hampir.


Ingat perjalanan tidak berhenti saat kita sudah menerima diri sendiri.

Selamat menjalani fase setelah kita sudah saling menerima diri kita sendiri: berusaha membaik memperbaiki ~


Komentar

Postingan Populer