Kelak Kau Menjadi Orang Tua Seperti Orang Tuamu
Suatu malam, panggilan teleponku berdering, nama ayahku muncul di layar handphone disertai suara nada dering yang khas, memecah suara ustazku yang sedang berceramah tentang adab tidur. Sebelum menjadi perhatian lebih banyak manusia, aku segera menepi, menjawab panggilan itu.
Isi sambungan telepon itu seperti biasa. Bertanya kabar. Apakah ayahku disana baik-baik saja. Bagaimana dengan pekerjaannya. Sebaliknya beliau bertanya seperti apa kehidupanku sekarang. Apakah juga baik-baik saja. Dan andai kita sama-sama melewati fase sulit, kadang saling membantu untuk selalu membuat hidup yang rumit ini semudah jawab gapapa pas ditanya apa kabarmu hari ini.
Tapi yang aku suka, setelah percakapan biasa itu, ayahku pasti akan memberi nasehat, kalau beliau tidak sibuk. Hal yang serupa saat aku juga menelpon ibuku dan aku juga sedang tidak buru-buru atau sedang menunjukkan wajah capekku pada Ibu, pasti ada aja pesannya untuk disampaikan padaku. Mereka berdua selalu dengan caranya masing-masing memberi pesan-pesan dalam. Hasil dari hikmah mengarungi bahtera kehidupan beserta pahit-getirnya.
“Yang harus kamu inget, Nduk …” Malam itu ayahku sudah bersiap memberiku pesan.
“Kalau hidup kamu ada di fase terpuruk, jangan pernah putus asa sama Allah. Inget, sekurang dan senggak bisa apapun menurut kemampuan kita, kalau sudah tempat bergantung kita itu Dia, pasti ada aja jalannya. Jangan pernah jauh dari Allah. Jangan pernah meragukan kuasa-Nya …” Suara lembutnya masuk ke telingaku. Suara yang santun. Dan suara yang sama yang beliau gunakan untuk menyapa petugas parkir, penjaga kebersihan, atau satpam kompleks perumahan yang sedang berjaga.
Malam itu aku tertegun. Bukan hanya dari apa yang ayahku sampaikan. Saat itu aku tiba-tiba menghitung usiaku yang sudah memasuki kepala dua.
Membayangkan andai besok lusa aku menjadi orang tua. Apakah aku bisa menjadi orang tua seperti orang tuaku? Atau lebih baik dari itu.
Aku bukan tipikal anak yang begitu teramat terbuka kepada orang tua. Entah karena faktor anak pertama, hingga akhirnya mau bicara saja pertimbangannya tidak satu-dua. Maka dari itu, kalau ada nasehat-nasehat dari mereka, biasanya aku suka mendengarkan dalam-dalam. Supaya besok lusa, andai hidupku sedang tidak baik-baik saja dan aku tidak mampu cerita, aku tinggal membuka ingatan tentang nasehat itu, kemudian mengamalkannya.
Untungnya orang tuaku suka secara tiba-tiba memberikan nasehat. Menyelipkan banyak pelajaran hidup supaya secapek apapun jangan putus asa sama Tuhanmu.
Kadang sempat berpikir juga, sesendiri itu ternyata aku diam-diam menyikapi gemuruh hidup.
Kalau tidak ada Allah pasti sudah hancur.
Malam itu, setelah mendengar nasehat dari ayahku, aku merenung. Besok lusa andai posisiku sudah tidak lagi hanya sebatas menjadi anak. Dan menjadi orang tua seperti orang tuaku. Akankah aku bisa juga menyentuh anakku dengan pesan-pesan mulia yang mendekatkan keterpurakan hidupnya menuju jalan yang benar pada Tuhan?
Menjadi tempat yang dia tidak perlu sepertiku, bercerita dengan penuh pertimbangan, seolah didengar itu mahal seperti kegiatan investasi saham yang butuh memikirkan resiko dari banyak hal.
Dan apakah aku juga bisa menjadi telinga. Supaya dia tidak pernah merasa dibimbing dengan keterpaksaan. Supaya dia tahu kalau saat aku memberi nasehat padanya, itu adalah hasil dari aku yang sudah tuntas mendengar ceritanya.
Nasehat-nasehat hidup itu konon akan terasa dalam saat kita sendiri pernah mengalami badainya. Bayangkan saja sudah berapa lama kita tamat nasehat tentang sabar. Tapi seberapa banyak kita sudah mengamalkannya? Atau merasakan fase hidup yang memaksa kita untuk memakainya? Hingga mampu menjadikan nasehat-nasehat itu seolah cahaya nyata yang bisa menuntun kita untuk melakukannya.
Dan bagaimana kita besok lusa menjadi orang tua yang mampu menemani perjalanan anak kita menuju Tuhan, kalau dari sekarang diri sendiri selalu memberikan batas untuk mendekat kepada-Nya.
Tidak pernah ada orang tua yang sempurna. Sama seperti tidak pernah ada anak yang mampu membalas kebaikan orang tuanya secara sempurna. Hal yang sekarang sedikit demi sedikit terkikis oleh pemahaman bahwa anak selalu harus dimengerti sebagaimana statement; bukan keinginan dia untuk lahir di dunia ini.
Nasehat yang selalu aku ingat, bahwa berbakti kepada orang tua itu kewajiban. Sementara kesalahan-kesalahan orang tua kita itu adalah hal yang lainnya. Jadi andai kata kekurangan mereka ada, itu tidak akan menggugurkan kewajiban kita untuk berbakti pada mereka dalam jalan yang haq.
Siapa yang tahu boleh jadi kesabaranmu menghadapi kekurangan orang tuamu adalah cara Allah untuk memberkahi hidupmu dan hidup anak-anakmu. Kita nggak pernah tahu kapan dan dimana Allah membalas kebaikan-kebaikan itu.
“Nanti kamu akan tahu rasanya kalau udah jadi seorang Ibu …” Waktu itu aku berdebat dengan ibuku dan akhirnya beliau mengucapkan kata-kata itu.
Dan sejak saat itu aku tahu, kalau apa yang aku anggap benar dalam hidupku, itu adalah karena pertimbangan itu adalah hasil dari memikirkan diriku. Sementara apa yang dikatakan ibu, adalah hasil pertimbangannya berbicara dengan dirinya sambil memikirkan diriku. Bayangkan betapa beratnya memikirkan manusia lain kalau dia jangan-jangan juga sedang gemuruh.
Diam-diam aku menyelipkan doa kebaikan untuk mereka. Walaupun ya jadi tidak diam karena akhirnya kutulis di blog sekarang mwehe. Entah seperti apa rumitnya berada di sepatu mereka, dibalik sempurna/tidak sempurna perjalanan mendidik manusia.
Kelak aku, kamu, atau kita semua tak hanya melulu berada di fase menjadi anak dari orang tua. Kelak kau juga akan menjadi sepertinya, berada di posisinya; menjadi orang tua seperti saat ini orang tuamu.
Maka selama ada kesempatan berbakti, jangan disia-siakan. Boleh jadi bakti itu yang akan membawa keberkahan pada hidup kita sebagaimana kita bersabar menghadapi prosesnya.
Dan selama ada kesempatan berbenah, maka juga jangan disia-siakan. Sesolih Nabi Nuh saja belum menjamin mampu mengantarkan anaknya untuk menjadi manusia beriman, apalagi spek makhluk akhir jaman kek kita.
Biar minim-minim ntar kalau diijinin jadi orang tua sudah hafal dan tahu konsep tarbiyah dari kisah keluarga Ibunda Maryam yang sejak di kandungan aja, ibu beliau udah punya roadmap ketuhanan buat anaknya sampai Allah memilih Maryam dari sekian banyak perempuan di dunia.
Sebelum ingin memiliki qurrata a'yun. Berusaha qurrata a'yunkan dirimu dulu. Memantaskan diri itu perlu.
Komentar
Posting Komentar