Si Saleha (Mendebat Bu Dosen)



Culun. Cupu. Kuper. Kampungan.
      Panggilan yang melekat di diri gadis bernama Saleha. Tak dapat dipungkiri Saleha memang sedikit ‘berbeda’ dari kebanyakan gadis di kampusnya. Kerudungnya panjang menutupi dada, tubuh Saleha di balut jubah yang sempurna menutupi lekuk tubuhnya, dan wajahnya polos tak pernah tersentuh make up.
      Saleha yang polos. Yang selalu menjauh ketika laki-laki hendak menyentuh tubuhnya – meskipun itu sebuah jabatan tangan. Yang menolak ketika beberapa teman-teman laki-laki secara terang-terangan mengajaknya kencan. Yang menyibukkan diri ketika tema-temannya saling bercanda tawa dengan lawan jenis atau sesekali beradegan mesra di hadapannya.
      Ya, dunia di sekitar Saleha menganggap dirinya culun, karena tidak mengikuti tren zaman now. Menganggapnya kuper, karena dirinya tak merespon chat-chat usil yang masuk ke akun sosmednya. Mereka bilang Saleha eksklusif, sok jual mahal. Mereka juga bilang Saleha kampungan, karena baju Saleha seperti emak-emak mau pengajian. Nggak fashionable! Ketinggalan jaman!
      Ah, komentar mereka jauh berbeda ketika gadis manis itu berbicara atau beradu argumentasi dengan dosen yang terkadang juga ikut ‘menyudutkan’ penampilan Saleha. Saleha lulusan Pesantren. Orangnya supel. Saleha juga terkenal simpati dengan sesama. Matanya berbinar ketika berbicara, ada sesuatu disana yang menunjukkan bahwa wawasan gadis itu luas. Diluar masalah style dan pergaulan, teman Saleha banyak. Apalagi Saleha adalah gudang curhat terpercaya. Tipe teman idaman!
      “Saya heran sama Saleha! Gerah-gerah begini pake penutup kepala sama baju panjang. Setahu saya, agama kamu adalah agama yang memudahkan. Benar begitu Saleha? Lantas kenapa menyuruh penganutnya pake baju serba tertutup kayak gitu?”
      Saleha menghembuskan napas. Entah sudah keberapa kalinya, Dosen keturunan Tionghoa itu mengomentari penampilannya. Saleha sampai lelah menanggapinya.
 “Dengan segala hormat, Bu Dosen. Itu karena agama saya special dan memperlakukan wanita secara istimewa.” Saleha menjawab dengan intonasi yang terkendali. Seluruh kelas hening. Sebentar lagi pasti aka nada forum debat antara Saleha dan Bu Dosen.
      “Ha … ha … ha, Saleha! Khas agamamu adalah merasa paling benar dan menganggap semua agama selain agamamu salah. Padahal sekarang banyak orang beragama islam, tapi pikirannnya terbuka. Inklusif. Mereka menyebut diri mereka ‘islam liberal’. Salah satu artikel yang saya baca, jelas pandangan mereka bahwa tidak sepantasnya menganggap agamanya yang paling benar. Mereka rupanya paham betul teori relativisme dalam kebenaran.”
      Saleha tersenyum. “Maksud Bu Dosen orang Islam yakin kalau Allah Tuhannya, karena mereka penganutnya. Dan orang Kristen yakin kalau Yesus tuhan mereka karena mereka penganut Kristen. Dengan demikian orang Islam tidak boleh menganggap orang Kristen yang menyembah Yesus itu salah. Begitu juga sebaliknya. Semua agama dipandang dalam sudut netral. Karena mereka menganut paham kebenaran itu bersifat relatif. Penganut agama tidak boleh menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Bukan begitu?”
      “Ya, mungkin.”
      “Namun bukankah jika ada dua sisi pasti ada satu yang benar dan satu yang salah. Tidak rasional jika orang Islam yang bertuhan menganggap orang beragama atheis yang tidak percaya Tuhan itu benar. Di dunia ini banyak dua sisi yang memiliki arti berlawanan antara satu dan lainnya. Seperti ada laki-laki dan perempuan. Ada siang ada malam. Dan banyak hal lainnya.”
      “Mungkin mereka juga ingin mengajarkan sifat toleransi.”
      Saleha tersenyum lagi. “Bisa dijelaskan Bu Dosen?”
      “Agamamu memandang salah semisal orang yang berpakaian terbuka. Seharusnya kan mereka bersikap toleransi. Menghargai budaya atau mungkin paham agama lain.”
      “Orang berzina, minum khamr, makan babi itu juga tidak menghargai agama saya Bu Dosen. Agama saya melarang demikian. Berarti mereka juga tidak bersikap toleransi?”
      Bu Dosen memperbaiki posisi duduknya. Matanya menyipit menatap Saleha. Kelas dipenuhi bisik-bisik mahasiswa yang gatal ingin berkomentar. Sebagian malah langsung membuka instagram, terburu memfollow akun instagram Saleha.
      “Ah sudahlah Saleha. Yang saya ingin tanyakan tadi kenapa agamamu menyuruh berpakaian serba tertutup seperti itu?” Bu Dosen membalikkan topic.
      “Bu Dosen tahu pameran permata bergengsi di Eropa beberapa waktu lalu?”
      “Tentu saja. Saya bahkan menjadi pengunjung pamerannya. Undangan special atas respek dari pencapaian akademik saya.”
      “Bagus kalau begitu. Apa yang Bu Dosen lihat dari pameran itu? Apakah permata itu di letakkan begitu saja? Atau apakah pengunjung bebs memegang permata-permata yang di pamerkan?”
      Bu Dosen tertawa. “Aduh Saleha. Makanya wawasan itu ditambah! Pameran itu pameran paling bergengsi di dunia. Ratusan permata paling fantastis di datangkan. Ditaruh di etalase mengkilat tahan peluru. Dilapisi security procedure terbaru dan tercanggih di dunia. Kau mencuri lantas menggantinya dengan batu yang massanya tidak sama nol koma berapa gram pun akan terdeteksi otomatis. Membunyikan alarm darurat. Dan jangan lupa penjagaan berlapis dari orang-orang yang mungkin satu dua mereka mantan algojo atau pengawal Presiden.”
      “Lantas Bu Dosen, untuk apa kita lelah-lelah melihat atau hadir ke pameran tersebut kalau tidak boleh memegang permatanya? Hanya melihat batu-batu mahal itu di balik etalase. Bukankah itu tidak menarik? Kalau melihat di internet juga bisa, Bu.”
 Bu Dosen memperbaiki posisi duduknya. Ternyata lawan debatnya soal pameran permata saja tidak paham. “Saleha, justru itu poin menariknya. Barang mahal, langka, istimewa, tidak boleh sembarang di pegang, di ekspos, apalagi di biarkan terbuka tanpa penjagaan. Mereka eksklusif! Bernilai tinggi. Hanya orang-orang yang memiliki otoritas tertentu yang boleh memegangnya. Kalau batu-batu itu boleh sembarang dipegang, diumbar diluar etalase kaca, itu sama saja mengurangi nilai jualnya. Bukankah kalau begitu permata-permata itu tidak ada bedanya dengan batu kerikil di halaman kampus? Yang tidak eksklusif sama sekali.”
      “Nah itu yang ingin saya jelaskan Bu. Agama Islam menempatkan perempuan di posisi yang teramat sangat istimewa. Layaknya permata yang tertutup, tidak boleh sembarang di pegang, apalagi ditaruh di tempat terbuka. Wanita itu ibarat perhiasan. Islam mengatur cara berpakaian muslimah bukan untuk memberatkan mereka. Justru untuk melindungi mereka dari tangan-tangan dan pandangan nakal orang yang tidak punya ‘otoritas’ untuk menyentuhnya. Untuk membuat mereka ‘bernilai tinggi’ karena mereka eksklusif – hanya orang tertentu yang boleh menikmati keindahannya.”
      Saleha menatap wanita bermata sipit itu penuh respek. Seolah ia sedang berusaha memberikan pemahaman kepadanya lewat tatapan matanya. “Bukankah permata itu tetap indah dilihat walaupun ia berada dalam etalase kaca? Seperti itulah Bu, wanita muslimah yang tetap bersinar, tetap terlihat indah, dalam balutan baju tertutupnya. Keindahan tidak selalu dinilai ketika kita justru menjadikan tubuh berharga kita bisa dilihat orang banyak. Itu malah membuat kita seolah makhluk yang bisa diperjual belikan.”
      “Tapi tubuh wanita itu suatu karya seni, Saleha. Mereka mengandung keindahan dan harga tinggi. Mereka berharga. Coba kau cari penghasilan artis-artis yang biasanya mengekspos keindahan tubuh mereka. Berapa dana yang harus di gelontorkan untuk satu kali sesi pemotretan misalnya.”
      “Justru sesuatu yang berharga itu yang tidak bisa ditukar dengan harga Bu Dosen.” Ujar Saleha.
      “Maksudnya?”
      Kini suasana kelas mulai berisik. Mereka menebak-nebak arah pembicaraan Saleha. Mata kuliah sudah selesai sepuluh menit yang lalu. Namun perdebatan antara Saleha dan Bu Dosen belum menampakkan tanda-tanda akan selesai.
      “Kalau saya membeli anak Ibu dengan harga satu milyar bagaimana?” tanya Saleha.
      “Maaf Saleha. Anak saya bukan barang yang bisa dijual.”
      “Karena ia berharga untuk Ibu?”
      “Tentu saja.”
      “Seperti itu juga Bu Dosen logikanya. Sesuatu yang berharga justru sesuatu yang tidak bisa ditukar dengan nilai harga. Contohnya, anak Ibu yang terlalu berharga untuk diukur dengan uang. Karena memilikinya adalah anugerah terbesar. Bukan begitu Bu?”
      Bu Dosen keturunan Tionghoa itu mengangguk. Saleha melanjutkan ucapannya. “Tubuh wanita itu berharga Bu. Terlalu bernilai jika harus ditukar dengan uang, apalagi fananya popularitas. Tubuh kita bukan untuk pemuas nafsu kaum pria. Apalagi yang tidak punya ‘otoritas’ untuk menikmatinya.”
      Dosen itu menatap Saleha takzim. “Terima kasih untuk kesempatan diskusi ini Saleha. Saya ada janji dengan kolega kerja sepuluh menit lagi. Suatu yang sulit di percaya kalau lawan bicara saya adalah anak kuliah semester satu yang baru selesai matrikulasi pecan kemarin. Sampai bertemu di forum diskusi selanjutnya.”
      Bu Dosen menutup mata kuliah singkat. Wajahnya yang mulai berkeriput berpesan soal tugas yang harus selesai besok pagi untuk mengganti jam kulaih hari ini. Para mahasiswa mengeluh. Bukannya beliau sendiri yang memuat jam kuliah menjadi forum debat bersama gadis yang dibilang lugu bernama Saleha?
***

Komentar

  1. YaAllah Ar.
    MasyaAllah tabarakallah ♥️
    Semoga Allah memperkokoh keimananmu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah neng sholihah do'anya saja meneduhkan semesta:')
      aamiin
      semoga do'a baik kembali dengan hal yang lebi baikk

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer