Sudut Hati Yang Mati (Eps. Uyghur)



Sudut Hati Yang Mati
Kemana Kita Saat Uyghur Memanggil?

matamatapolitik.com

                Miris rasanya, ketika mendengar berita bahwa perampasan hak kemanusiaan tertuju lagi pada saudara kita sesama muslim. Seolah tak cukup penindasan Palestina, penjajahan di Suriah, penderitaan di Myanmar, jeritan pilu di Pattani, dunia seolah tak pernah berhenti untuk menyerang dan menindas saudara kita sesama muslim. Tak peduli dengungan-dengungan pilu dari mereka. Prinsip bahwa: ASAL MEREKA MUSLIM. MEREKA HARUS DIHABISI. Entah mengapa menjadi prinsip yang teramat ampuh membekukan hati orang-orang untuk sekedar menaruh peduli. Atau menempatkan hak asasi manusia sesuai porsi.

                Berita hangat di dunia tentang muslim Uyghur yang terampas hak-hak kemanusiaannya. Diskriminasi agama yang begitu kejam. Hukuman penjara bagi orang-orang yang nekat melakukan ibadah. Kamp-kamp tahanan yang ada untuk mengisolasi orang-orang yang dianggap “harus dibersihkan dari agama” dengan dalih lama: membebaskan negara mereka dari ekstrimisme dan teror menyebar.

           Pengadaan kamp-kamp tahanan di Uyghur yang disorot begitu kejam. DImana lebih dari ribuan orang ditahan tanpa alasan jelas dan pengadilan. Kamp tragis yang memisahkan ibu dari anaknya, suami dari istrinya, seorang ayah dari keluarganya. Berada pada pengawasan ketat tanpa tahu kapan lagi akan bertemu dengan anggota keluarga yang terpisah. Kamp re-education yang didalamnya tidak boleh melakukan ibadah dan  berbagai tindak siksaan lainnya.

            Mirisnya lagi, fakta bahwa esok lusa mereka akan tetap menjadi seorang muslim atau tidak, semuanya gelap dan misteri. Kamp “pendidikan ulang” yang mengerikan penuh dengan paksaan untuk melupakan identitas mereka dan diharuskan mencela agama yang begitu mereka cintai. Terlepas dari itu semua, tak terhitung berapa orang yang harus dipenjara, disiksa, dan dibunuhi. Hanya karena mereka seorang MUSLIM.


kumparan.com
Bisakah kita bayangkan, penderitaan saudara muslim Uyghur hari ini?

Ketika satu juta orang  dijebloskan kedalam kamp mengerikan tanpa alasan pasti. Ribuan anak-anak muslim tanpa orangtua dimasukkan ke panti asuhan. Jalanan yang kosong, rumah rumah terkunci, dan toko toko tutup menjadi pemandangan yang begitu menyakitkan hati. Perempuan-perempuan muslim dipaksa menikah dengan orang nonmuslim. Penutupan masjid. Wanita hamil yang dipaksa aborsi. Kamera pengawas dimana-mana yang siap mengantarkan mereka pada takdir yang tak pernah ingin mereka jalani.

Sungguh ini bukan lagi sebuah tindak kejahatan biasa yang patut kita diamkan sendiri ...

China menganggap beragama Islam adalah sebuah kejahatan. China menganggap bahwa Islam adalah agama penuh ekstrimisme yang membahayakan mereka. China menganggap bahwa muslim adalah sebab musabab semua gusar dan ketakutan. Islam adalah sebuah agama yang menggusarkan dunia.

Lantas dengan dalih itulah mereka melegalkan semua tindak kekerasan yang mereka tujukan pada muslim di Uyghur sana.

            Sejujurnya, pernahkah kita berpikir ...

Siapa sebenarnya yang kejam?
Orang muslim ataukah mereka? Yang membuat setumpuk alasan memerangi muslim untuk perdamaian. Padahal merekalah dalang kejam yang merampas hak kemanusiaan.


Siapa sebenarnya yang teroris?
Jika bisa dibandingkan catatan gelap akan tindak kekerasan di seluruh dunia. Adakah Islam dan pemeluknya yang menjadi pelaku tindak terorisme terbanyak? Jika pertanyaan dibalik: lantas siapa teroris yang bertahun tahun menjajah dan menyiksa saudara muslim di Palestina, Burma, Pattani, dan lain sebagainya? Siapa yang sebenarnya harus dihabisi?

Siapa sebenarnya yang menciptakan gusar dan ketakutan di dunia ini? Tak ada satupun dalil dalam agama ini yang melegalkan berbagai tindak kekerasan apalagi perang pada sesama manusia lain. Tanpa hak. Walaupun mereka orang nonmuslim,

Adakah Islam memiliki sejarah jika hadirnya ia di hati-hati manusia untuk menebar perang dan benci?


new.detik.com

Bertumpuk pilu, Beribu derita. Berjuta jeritan ...
Uyghur memandang langit yang sama dengan kita. Namun diatas tanah yang begitu penuh penderitaan.

Lantas sebagai saudara muslim kemana kita saat Uyghur memanggil?

Sejujurnya apa yang terjadi di Uyghur saat ini adalah bagian dari refleksi diri. Seberapa besar porsi peduli yang masih tersisa di hati untuk saudara kita sesama muslim?

Bukankah Uyghur hadir sebagai pelajaran pada diri kita pribadi. Tak terbersitkah rasa malu, ketika kita disini, diberi Allah kemudahan untuk melaksanakan ibadah dan mendeklarasikan diri sebagai seorang muslim tanpa harus takut disiksa dan di diskriminasi. Namun yang terjadi justru kenikmatan itu menjadikan kita lalai untuk beribadah dan berbuat baik. Padahal radius ribuan kilometer dari sini, muslim Uyghur harus mempertaruhkan diri untuk sekedar melaksanakan ibadah sebagai seorang muslim.

Bukankah Uyghur telah memanggil, lewat derita, air mata, tekanan dan nyawa: kemana diri kita sebagai saudara sesama muslim? Selemah itu kah kita saat ini hingga derita di Uyghur membuat kita putus asa untuk sekedar memikirkan langkah apa yang bisa diambil? Tidak mungkin rasanya tak ada solusi pada permasalahan Uyghur saat ini.

Bukankah Uyghur seharusnya membuat kita berkaca diri: sejauh mana kecintaan kita pada agama kita sendiri. Jika muslim Uyghur mampu mempertahankan iman dibalik semua liku dan duri. Mengapa kita disini, dengan himpunan nikmat yang tak mampu terhitung jari, teramat sulit hanya untuk menjadi contoh muslim yang baik bagi orang lain.

Uyghur sedang memanggil kita ...

Lewat air mata, teriakan pilu, dan rintihan anak-anak yang merindukan orangtua.

Adakah sinyal itu tertangkap di hati kita?

Mungkin kita boleh berpikir: “Asalkan  aku disini aman. Rasanya biarkan peduli itu kubebankan pada muslim yang lain.” Bukankah tak terhitung relawan sana-sini yang sudah tergerak hati membantu Uyghur yang sedang sakit?

Namun sampai kapan kita tidak mengambil bagian untuk berkontribusi? Pada penderitaan sesama muslim di Uyghur yang begitu menyayat hati Setidaknya menyisipkan sebait do’a untuk keselamatan mereka adalah satu hal yang dapat kita lakukan dengan keterbatasan kita membantu lewat cara lain.

Jika boleh bertanya pada hati ...

Coba tanyakan pada hatimu.
Mengapa sinyal kepedulian itu tertangkap begitu sulit olehmu.
Adakah yang salah dari dirimu?
Mengapa sakit Uyghur tak juga menjadi sakitmu?

Coba tanyakan pada hatimu.
Adakah yang mati dari sudutnya?
Karena himpunan ambisi yang begitu jauh menginginkan dunia.
Hingga kepedulianmu habis untuknya.

Coba tanyakan pada hatimu.
Ada apa dengannya?

Hingga tak tersisa peduli untuk jeritan anak-anak Uyghur yang menangis merindukan ayah - ibunya. 

Hingga ia tetap diam melihat Ulama’ Ulama’ yang disiksa dan dihabisi oleh rezim yang membenci agamamu. Hingga ia memutuskan untuk tak peduli pada peristiwa yang terjadi di Uyghur.

Ada sudut hati yang mati dari abainya kita pada Uyghur selama ini.

Ada yang salah pada diri kita yang tak menyempatkan berkontribusi. Setidaknya dengan do’a yang kita lantunkan setiap hari untuk keselamatan saudara kita sesama muslim.

Bulan yang sama.

Langit yang sama.

Matahari yang sama.

Dan keyakinan yang sama.

Namun kita memandangnya diatas tanah merdeka.

Sementara saudara kita di Uyghur memandangnya pilu, diatas tanah penjajahan dan kemanusiaan yang diabaikan.

Kemana kita saat Uyghur memanggil?

Jika tak mampu berbuat lebih. Jika keterbatasan diri kita tak bisa berkontribusi besar. Setidaknya sisipkan do’a untuk mereka. Bayangkan jika kita berada pada posisi mereka. Kemudian tak ada satupun dari saudara sesama muslim di belahan dunia yang menyematkan do’a. Tak mustahil satu-dua, atau bahkan semua do’a kita terijabah. Hingga dengan rahmatNya, Allah turunkan kemenangan dan kemerdekaan bagi saudara kita disana.

Uyghur sudah memanggil, adakah sinyalnya tertangkap di hati?


Sudahkah kita menyisipkan do’a untk saudara muslim kita di Uyghur hari ini?

               
               


Komentar

Postingan Populer