Sepotong Cerita di Kaki Gunung Kelud (Eps. 01)

 


Yen kupandang gemerlap nyang mripatmu

Terpampang gambar waru ning atimu

Nganti kapan abot iki ora muk dukung

Mung dadi konco mesra mergo kependem cinta

 

Lantunan lagu konco mesra yang dipupelerkan Nella Kharisma dan akhir-akhir ini viral di berbagai pertunjukan dangdut Jawa Timur memenuhi langit-langit mushola kecil hijau di suatu desa dekat Gunung Kelud sore itu. Bukan. Bukan penyanyi Nella Kharisma yang manggung disana. Bocah-bocah kecil dengan sarung yang diselempangkan ke samping dan kopyah yang sudah miring itulah yang menyanyikannya dengan suara yang kebanyakan justru bikin pusing kepala dan bising telinga.

Kegiatan TPQ baru selesai. Anak-anak itu baru setor mengeja huruf hijaiyah setelah hari sebelumnya mencoba menghafal nama-nama 25 Nabi dan Rasul yang ditulis dibelakang kalender satu-satunya yang ada di mushola itu. Maklum. Tidak ada papan tulis. Mengajar ngaji perlu kreativitas sedikit-sedikit di desa kaki Gunung Kelud itu.

Umurku 15 tahun kala itu. Anak baru yang duduk kelas satu SMA. Pesantren kami memiliki program istimewa setiap bulan Ramadhan yang dulu sudah aku tekadkan tidak akan pernah mengikuti program itu selama aku mengenyam pendidikan SMA. Tidak menjadi rahasia, program ini tak jarang memotong jadwal liburan hari raya. Hal yang paling tidak ku suka. Tapi takdir berkata lain. Allah memilihku, menjadi salah satu anak yang diamanahi untuk ikut program ini.

 Program Dakwah Ramadhan biasa disingkat PDR. Sebuah pengiriman santriwan/santriwati yang ditugaskan ke berbagai daerah (seringnya daerah terpencil) atau bahkan luar negeri untuk mengajar TPQ, mengisi majelis ta’lim, membantu masyarakat sekitar, menghidupkan tadarus malam, dan berbagai amanah dakwah lain yang berbeda-beda sesuai dengan tempat kita di tempatkan.

Dan disinilah aku sekarang. Bersama salah satu teman angkatanku, yang besok lusa juga ditakdirkan ikut menemaniku belajar di Negeri Seribu Debu; Nailul. Dan kakak kelasku yang baik hati; Kak Fitri. Disinilah kita. Di sebuah desa dengan hawa sejuknya, sawah-sawah yang luas membentang, dan aliran sungai yang sering kita pakai besok-besok sebagai kolam renang dadakan. Sebuah desa di kaki Gunung Kelud yang hawa dinginnya sukses bikin aku biduran di waktu shubuh.

Desa itu bernama Kunjang. Kami tinggal di sebuah rumah keluarga da’i di desa itu. Keluarga Pak Riyono dan Bu Mar. Rumah yang hangat dengan halaman belakang yang luas berisi kandang sapi, kambing, kolam lele, dan beberapa pohon kelapa yang tumbuh teduh disana. Biasanya Pak Riyono akan memberi kami nasehat kehidupan ketika kita tak sengaja menemani beliau mengurus sapi-sapinya. Duduk disamping sapi-sapi itu, melihat beliau yang tak lelah bekerja sepanjang hari sambil memberikan nasehat adalah momen favoritku. “Besok inget pesan Bapak! Jangan mentang-mentang jadi pendakwah, kita ga mau bekerja. Kita harus punya uang sendiri untuk hidup kita.” Dulu kalimat itu terasa berat masuk ke otakku. Aku ga paham. Tapi semakin kesini aku mulai tahu, bahwa sebagai pendakwah, kita tak mencari uang dari sana. Sebaliknya. Seharusnya kitalah yang memberi uang untuk jalannya roda dakwah.

Kembali ke mushola kecil itu. Nailul dan Kak Fitri sibuk menyuruh mereka untuk diam, bahaya kalau tetangga kiri-kanan berisik dengan konser dadakan mereka. Aku tertawa terpingkal ketika salah satu murid kami lihai menirukan joget pendangdut itu dengan luwesnya. Tak berhasil menyuruh diam, mereka akhirnya bubar sendiri ketika senja sudah meredup; waktu buka puasa hampir tiba. Mereka berjalan beriringan dengan buku iqro’ yang digenggam erat-erat sambil janjian kalau nanti habis tarawih mau main petasan. Ada-ada aja.

Kami bertiga melangkah menuju rumah yang jaraknya tak jauh dari masjid. Tadi jam dua kami sudah beres membantu Ibu masak (panggilan kami untuk Bu Mar). Dan aku semangat sekali balik ke rumah, menghitung dalam hati kapan adzan maghrib berkumandang, karena hari ini Ibu masak sambel goreng ati kesukaanku (btw, emang apa yang ga aku suka ui? wkwk).

Sek tas moleh, Nduk?”[1] Suara Pak Riyono menyambut kami.

Nggeh, Pak.“ jawab kami serempak lantas izin kepada beliau untuk menaruh Qur’an di kamar sebelum membantu Ibu menyiapkan makanan buka.

Sido opo ora? Engko bengi mari tadarusan jarene atene metu tuku jajan.”[2]

“Sek. Takon sek. Sepeda motor e Mas Bahirul digawe opo ga. Mosok rek goncengan telu. Saru.”[3]

“Kan sepeda motor onok telu se ndek omah. Yo gawe sepeda motore Mas alif wae . Wkwk.”[4]

“Hee prasamu. Sepeda gede ngono. Ga tutuk sikilku.”[5]

Kami bertiga tertawa. Bahasa Jawa khas timuran yang nol kromo tapi apalah daya bisanya demikian wk.  Dulu aku sering naikin sepeda motor Mas Alif, anak pertama Bapak hanya untuk mengukur apakah tinggi badanku sampai untuk mengendarai motor gede itu.

Hal yang paling ku suka dari dulu adalah keluar malam buat jajan. Jadi setelah tahu bahwa sepeda motor pada nganggur di rumah, maka setelah selesai tadarus malam, kami langsung pamit ke Bapak untuk pergi ke pasar dekat rumah. Setelah dapat petuah hati-hati, jangan pulang malem-malem, dan kalimat petuah lain, kami langsung bersiap pergi. Karena waktu itu aku nggak bisa bawa motor bebek, alhasil aku dibonceng Kak Fitri. Sementara Nailul bawa motor sendiri.

Jalanan di pasar lebih ramai. Warung-warung pinggir jalan yang menjual nasi bebek, martabak, sate, cakwe, bakso, mie ayam, dan makanan-makanan lain benar-benar membuat aku tersenyum lebar malam itu. Walaupun kita sebenarnya nggak bakal beli banyak, nggak tahu kenapa seneng aja ketemu jajaran makanan setelah seharian puasa.

“Kak Fitri ... Mampir beli pentol yukk!” Aku mengeraskan suaraku di telinga Kak Fitri. Angin malam dan hiruk-pikuk kendaraan membuat suaraku tenggelam ditengah riuh-rendah keramaian.

“Mau? Yaudah ayo.” Beliau langsung menepikan motor ke salah satu Abang jual pentol.

“Si Nailul bungkusin juga nggak?”

“Iya, bungkusin aja. Lah kemana dia? Bukannya tadi dibelakang kita ya?”

“Palingan bentar lagi sampe, Kak. Ketutup motor mah.” ujarku menenangkan. “Eh Bang. Sambelnya yang satu itu banyakin ya ...”

Setelah tiga bungkus pentol itu berpindah tangan kami baru menyadari sesuatu. Malam sudah semakin larut. Dan Nailul belum terlihat batang hidung lengkap dengan seluruh anggota tubuh.

“Eh Fara ... Nailul mana Far? Ini udah lama banget.”

“Duh iya. Jangan-jangan nyasar, Kak.”

“Dia nggak bawa hape juga. Apa jangan-jangan udah pulang?” Kak Fitri bergegas mendekat ke jalan raya, memperhatikan kendaraan yang hilir mudik. Berharap menemukan sosok Nailul diantara sepeda motor yang lewat.

Kami mulai panik. Ini bukan kota kami. Mana tahu tentang seluk beluknya. Apalagi Nailul belum hafal jalan pulang. Membayangkan Nailul sendirian tanpa handphone tersesat ditengah keramaian, waktu malam pula, membuat aku tiba-tiba takut. “Ka Fitri ... telfon orang rumah sih. Kali aja dia udah pulang dulu.”

“Serius Far? Kalau nggak ada terus malah kena ... “

“Tapi dia anak orang, Kak. Ngomong apa coba ke bapaknya kalau tuh anak hilang.” kataku gusar.

“Cari dulu Far, gimana? Yuk buruan!” Kak Fitri segera menghidupkan sepeda dan menyuruh aku segera naik. “Kamu lihat ke belakang ya ... Kali aja dia dibelakang kita.”

Sepeda motor melaju membelah pasar Desa Kunjang yang semakin berkabut. Kami memanggil-manggil Nailul. Untung saja leherku tidak kram sampai rumah karena noleh ke belakang hanya untuk mencari Nailul. Kak Fitri melajukan motornya ke tempat-tempat yang tadi kami kunjungi tapi tak satupun yang menunjukkan kalau Nailul ada disitu. Aku hampir menangis. Ya Allah ... Ini semakin malam. Kemana Nailul ini terselip sebetulnya?

Setelah beberapa kali memutari tempat-tempat yang sama, kami memutuskan untuk bertanya kepada bapak penjual gorengan, berusaha menjelaskan ciri-ciri Nailul. Bersyukurlah bapak itu sempat melihat, menunjukkan kemana arah ia melihat Nailul. Setelah berterima kasih kami kembali menaiki sepeda, melanjutkan misi mencari Nailul yang tersesat.

Dan akhirnya malam itu, setelah sekian putaran, kami menemukan Nailul, mengendarai motor dengan kecepatan keong didepan kami.  Kak Fitri berusaha memanggil-manggilnya. Namun karena tidak berhasil, kami memutuskan menyalip supaya dia yang bisa melihat kami.

“Nailull .....!!!!!!” Saking senangnya kami berteriak bersamaan. Nailul ikut berteriak. Aku masih ingat mukanya malam itu. Muka menahan tangis, pucat, setengah hilang harapan. Alhamdulillah, anak orang satu ini ketemu juga.

“Far, liatin Nailul ya. Jangan sampe ilang.” Pesan itu lagi. Maka ku relakan leherku untuk menoleh ke belakang, menjadi spion tambahan. Mengawasi Nailul yang mengikuti kami dari belakang.

Saat melewati jalan yang ditepinya ada kuburan, ada seorang bapak tua yang mengayuh sepeda onthel tua dibelakang Nailul. Jarak mereka dekat. Mataku menyipit. Takut bapak itu macam-macam atau malah jangan-jangan bapak itu bukan manusia. Aku membuang pikiran itu jauh-jauh. Dan apa yang kulihat setelahnya membuat aku tidak habis pikir. Bapak tua dengan onthelnya itu menyalip Nailul ‘yang pake sepeda motor’. Bayangkan seberapa besar kecepatan Nailul kalau sepedaan waktu itu? Jangankan polisi lalu lintas. Kayaknya polisi tidur bakalan jatuh cinta. Pengendara lalu lintas yang tidak suka kebut-kebutan. Nailul juaranya.

(cerita bersambung)

***

(NAILUL POV)

Malam ini kami keluar setelah mendapat kabar bahwa dua sepeda motor yang bisa kami pakai ngangur di rumah. Fara ga bisa bawa motor bebek. Jadi aku bawa satu motor sementara Kak Fitri dan Fara di motor yang lain. Seperti biasa, Kak Fitri yang menjadi senior kita yang tahu rute jalan, sementara aku ngikuti di belakang.

Aku tetap memperhatikan mereka, berada di belakang mereka karena memang aku tidak tahu jalan. Sampai akhirnya ada mobil yang menghalangiku untuk melihat mereka, di lampu merah pula.

Setelah lampu hijau menyala, aku kira mereka masih didepan. Nyatanya tidak. Aku kehilangan mereka. Aku mencoba memilih rute jalan dimana naluriku memanggil. Tapi aku justru tersesat. Aku putari bundaran pasar lebih dari tiga hingga penjual warung heran melihatku yang tawaf di tempat itu.

Malam larut. Aku sendirian di kota orang. Aku memanggil Ibuku yang jelas-jelas tak mendengar suaraku. Aku hampir menangis. Meneguhkan hatiku aku adalah anak Hizbul Wathan yang bisa hidup dimanapun. Aku memikirkan dimana aku tidur kalau aku tersesat. Aku kembali memanggil Ibuku. Aku takut. Aku anak Hizbul Wathan. Bukan anak jalanan.

“Nailulll ...”

Suara itu. Memutus takutku yang tersesat di tempat asing malam itu.

"Ya ampun ... sepeda onthel aja bisa nyalip kamu ya ..." Itu suara Fara yang heran kenapa bisa kendaraan itu mengalahkan laju sepeda motorku.

 



[1] “Baru Pulang, Nak?”

[2] “He jadi apa nggak? Ntar abis tadarusan katanya mau keluar beli jajan.”

[3] “Ntar. Tanya dulu. Sepeda motornya Mas Bahirul dipake apa ga. Masa goncengan bertiga. Ga sopan.”

[4] Kan ada tiga sepeda motor di rumah. Pake sepeda motornya Mas Alif aja. Wkwk.”

[5] “He maksudmu. Sepeda sebesar itu. Ga sampe kakiku.”

Komentar

Postingan Populer