Do We Really Need Weekend?
Do We Really Need Weekend?
Aku bangun saat matahari sudah masuk ke
kisi-kisi jendela kamarku. Hal kurang baik yang susah di jauhkan adalah tidak
tidur pagi, apalagi kalau libur kuliah. Parahnya aku adalah tipe manusia yang
suka sekali tidur dengan mukena yang masih melekat. Dan terbang ke alam mimpi padahal
masih di atas sajadah atau kalau baik sedikit, akan tidur baik-baik di atas
kasur, tapi juga dengan sajadah yang belum terlipat.
Dzikir pagi ini mah, cuman mode rebahan aja …
Pret! Bisikan setan yang mengajak manusia untuk
mageran emang halus sekali awalnya. Bisa di pastikan belum juga selesai
rentetan dzikir pagi itu aku sudah hilang.
Hari ini Hari Jum’at. Hari libur pekanan di
Sudan. Setelah melirik jam di layar hp sebentar, aku memikirkan apa yang bisa
aku kerjakan hari ini. Sejak beberapa hari kemarin, aku sudah berniat untuk
menjadikan hari libur sekali sepekan ini adalah hari untuk me time. Melakukan
apapun sesukaku. Pergi kemanapun sesukaku. Tidur sesukaku. Menghadiri acara (mau
atau tidak mau) sesukaku.
Do We Really Need Weekend?
Beberapa hari ini dengan jadwal kuliah yang
sudah berjalan normal, di tambah dosen-dosen semester 4 yang memiliki karakter
suka memberi pekerjaan rumah, belum lagi acara non kuliah seperti kajian
rutinan yang pulang-perginya jaraknya bisa sampe 10 kilometeran (affh iyy?),
organisasi, deadline yang belum kelar, cobaan idup, … duarrr rasanya aku
ingin meledak dengan pilihan hidup yang jelas-jelas (sebagiannya) aku pilih
sendiri dan seharusnya sudah tahu konsekuensi.
Maka jadilah aku seorang mahasiswi yang
tiba-tiba beberapa kali memutuskan menyendiri. Simpel saja. Aku pergi ke perpus
setelah sekian lama nggak pernah menginjakkan kaki di sana. Sampai sana aku
langsung tidur, salah siapa perpus kampus adem banget kek aura cewe solihah kan
y, tapi nasib, baru juga naruh kepala di meja, udah disamperin sama penjaga
kampusnya, di gebrak-gebrak …
“Lu pikir ini tempat tidur apa? Sana pulang ke
asrama kalau kerjaannya tiduran!”
Begitulah inti perkataan penjaga kampus jika di
kasarkan, wk.
Setelah itu beberapa hari kemudian aku kembali
kesana lagi, kali ini lebih santun, memiliki tujuan yang jelas (mau ngerjain
tugas) ceileh. Yang pertama kali aku liat pas ngeluarin buku-buku kuliah di
atas meja adalah penjaga perpusnya. Alhamdulillah penjaganya bukan
penjaga yang galak. Tapi bodo amat juga kalau yang jaga galak, kan kali ini mau
ngerjain tugas.
Aku menarik kursi yang jauh dari jangkauan
manusia. Introvert ceritanya. Lantas langsung sibuk dengan tugas-tugas bejibun
yang sudah ada di depanku. Baru aja kemarin membanggakan kampus Sudan yang
santuy jarang ada tugas sama sepupu yang baru jadi mahasiswa di kampus negeri
di Malang, ternyata hidup emang bisa berubah 360 derajat kalau Tuhan sudah
berkehendak.
Selama ngerjain tugas, aku berdoa semoga Jum’at
datang lebih cepat. Aku capeek kuliahh. Ingin kuteriakkan itu di keheningan perpustakaan,
tapi sadar kalo itu terlalui alay jadi yasudahlah.
Dan Jum’at pagi ini, setelah melihat jam di
ponsel, mencoret-coret notes untuk membuat to do list, aku memutuskan
untuk memulai hari ini dengan membersihkan kasur. Mengganti seprei, menata
buku, menata ornamen-ornamen kecil yang biasa aku taruh di sana, memperbarui papan
deadline dengan menempel post it di sana (tapi nggak aku lanjutin karena
ternyata deadline ku terlalu banyak wq), sampai membereskan barang-barang di
kolong kasur yang selalu ga bisa lepas dari debu Sudan.
Aku pernah dengerin salah satu kanal youtube
seorang influencer pendidikan yang bilang kalau kerapihan dan kebersihan kamar
itu bisa nyehatin mental. Dan kalau kamu lagi suntuk, bosen, stres sama rutinitas
kamu, ngerubah tata letak kamar itu bisa jadi solusi paling ampuh.
And i am totally agree for that statement! Hal yang paling aku perhatiin saat lagi sibuk-sibuknya
adalah kebersihan kamar. Apalagi kasur. Karena itu adalah ‘tempat pulang’ dari
semua capenya dunia. Kamar ga bole kotor. Kasur ga bole berantakan. Sebisa mungkin,
secape apapun, sesibuk apapun, ini adalah hal yang nggak bisa di ganggu gugat. Rumah
tempat kita pulang harus selalu jadi tempat nyaman. Apalagi kalau jiwa kita suka
ambyar. Tempat istirahat yang kotor selain bikin sakit mental juga jadi sarang
setan.
Setelah sejaman berkutat dengan bersih-bersih,
aku kembali memandang kasurku. Dan kembali menghembuskan nafas. Padahal tadi rasanya
sudah di dekor semanis mungkin. Meja buku di kasih taplak warna ungu violet, di
atasnya ada lampu portable, kacamata, buku-buku yang lagi asyik di baca,
bingkai foto yang di atur serapi mungkin di samping boneka kecil teddy bear
yang multifungsi sebagai tempat jarum pentul, but …
Auranya teramat sangat berbeda. Tampak sangat …
serius. Seolah-olah sejaman tadi aku menghabiskan waktu untuk membereskan
sebuah tempat kerja! Bukan tempat peristirahatan.
Lihat, kumpulan buku-buku kuliah yang biasanya
ga terlihat batang hidungnya sekarang tersusun menumpuk di salah satu sisi rak.
Kertas-kertas pink deadline yang kalau di ambil pusing bisa ganggu tidur malam
(walaupun sejauh ini ga ngaruh jg), sampai buku bacaan yang kini tampak genre yang
selalu tentang motivasi diri, berdamai dengan diri sendiri, cara
bersosialisasi, buku-buku serius, yang justru sedang menampilkan apa masalah
dari pembaca buku itu.
Apakah kita sebenar-benar butuh weekend?
Kurasa iya. Hanya saja sebagian orang menghabiskannya
dengan cara berbeda. Ada yang healing rekreasi kemana. Ada yang mukbang makanan
di resto dengan mesen menu terbaiknya. Ada yang belanja. Ada yang nyoba menu
masakan. Ada yang hang out sama temen. Kita semua butuh safe space untuk
memberi spasi pada hidup kita, yang seringnya monoton, eh hidup aku aja deh
keknya
Dan dengan mengenal diri sendiri kita jadi tahu
energi mana yang memang bener-bener ngisi jiwa kita saat weekend itu datang. Jangan
hanya karena emang kebanyakan orang ngelakuin itu akhirnya kita ikut-ikutan
healing pake cara itu. Takutnya udah cape-cape malah jiwa kita ga keisi energi.
Eh malah ngabisin.
Saat melihat tatanan kasurku yang auranya lebih
serius dari sebelumnya, aku justru lebih semangat buat ngerjain ritual me
time hari ini. Beberapa kali mengikuti tren temen yang healingnya bermacem-macem
motif, suatu titik aku dapet kesadaran, kalau healing versiku adalah
dengan di kamar aja alias nggak kemana-mana. Murah sekali emang.
Satu waktu yang aku bebas beresin kamar, nyuci, nyetrika, baca buku yang aku suka, nulis jurnal, terlihat kek rutinitas ibuk-ibuk tapi ya emang sih, justru adalah sebuah self reward yang ampuh bet buat ngisi energi. Sebenernya healing versi kek gini rada cape cuman kalau tau besoknya kita kembali menjalani hari normal yang sibuk tanpa beban kerjaan rumah susun (bukan rumah tangga yy) entah kenawhy brasanya lebih melegakan.
Malamnya, aku tutup rutinitas weekend ini dengan nulis blog. Ya karena memang mau nulis aja. Ga tau kenapa aku masih ngerasa tulisanku kaku bgt kalo nulis blog. Mgkn karena emang ga biasa nulis yang nyritain ttg diri sendiri gitu kali. Tapi yasudahlah manusia kan emg tempatnya kurang. Apalagi kalo tipe yang modelan kek aku gn, akan lebi banyak kurangnya.
Dan ya bersyukurlah kalau kamu sering menjalani
weekend yang kamu sendiri bisa sesuka mungkin buat ngejalanin aktivitas apapun
yang kamu mau hari itu. Karena di luar sana, ada banyak orang yang weekend tapi
tetep saja kepentok schedule sana-sini.
Kita selalu butuh jeda untuk memiliki waktu
sama diri kita sendiri. Tapi semoga ga pernah berjeda hubungan kita dengan Sang
Khaliq.
Aku tutup blog kali ini dengan satu quotes dari
buku yang lagi aku baca, judulnya The Things You Can See When You Slow Down
Kita hanya melihat dunia hanya melalui jendela batin.
Ketika batin kita ramai, dunia juga terasa
ramai.
Dan ketika batin kita penuh kedalamaian, dunia
pun terasa damai.
Memahami batin kita, sama pentingnya (ternyata)
dengan mengubah dunia,
Komentar
Posting Komentar