Aksara Semesta
Angin musim dingin
Bulan Desember menusuk kulitku yang beberapa hari ini sudah seperti ikan
bersisik. Hari-hariku yang tersusun dari malam-malam yang panjang, selimut, dan
tumpukan buku yang entah kenapa tidak satupun menarik minat untuk ku baca sedikitpun.
Tidak cuma sekali aku menariknya asal dari tatanan rak, membuka lembarnya, dan
justru mata dan hatiku tidak pernah sinkron memahami isinya. Kalau ada beberapa
momen langka aku tidak suka membaca dalam hidupku, mungkin ini salah satunya.
Andai membaca
punya banyak makna, mungkin kali ini aku sedang menyukai membaca dengan makna
yang lain. Akhir-akhir ini aku suka membaca banyak tanda-tanda semesta. Mungkin
bagimu ini berlebihan. Tapi serius. Akhir-akhir ini aku selalu suka diam-diam
menghembuskan napasku di tengah dinginnya angin, merasakan perbedaan komposisi
udara yang masuk ke dalam paru-paruku, lantas perbedaan itu, entah kenapa, selalu
saja mengantarku untuk mengingat banyak hal.
Seolah semesta adalah secarik amplop pos yang di kirim alam dan
berisi banyak sekali kenangan atau potongan hidup yang membawaku kembali utuh.
Banyak orang
mengungkapkan ia merasa dalam pusaran nostalgia saat mengalami kejadian serupa
dengan apa yang di alaminya di masa lalu. Tapi bagiku, tak hanya kejadian,
entah kenapa, beberapa hal kecil seperti angin dingin yang menusuk malam-malam,
senja yang membawa sekujur tubuhku ikut berpendar keemasan, potongan purnama
bulan dua belas dan gugusan bintang, atau cahaya matahari yang lembut masuk ke
dalam pori-pori kulitku setiap pagi, semua hal dalam orkestra semesta itu
membawaku ke banyak hal pada kejadian dan sosok nyata di masa lalu.
Di beberapa momen,
seolah dalam diriku, setiap keindahan alam semesta itu tersimpan dalam sebuah
kotak, yang bisa kuambil dan kubuka asal, saat aku ingin menikmatinya. Beberapa
kali sebelum tidur, aku sering membuka salah satu kotak yang isinya adalah
angin sisik bulan Desember, lengkap dengan bulan dan bintangnya, yang entah
kenapa bisa membawaku pada kehadiran sosok Papa yang terasa begitu dekat dengan
senyumnya yang selalu memiliki bahasa; bahwa tak akan terjadi apa-apa di dunia
ini walaupun kamu sedang berada di titik sebaliknya. Untuk kemudian setelah
angin teduh dan sosok Papa itu berpendar dalam semestaku, aku bisa tertidur
nyenyak.
Hal yang serupa,
saat tiba-tiba aku berjalan menyusuri jalanan kampus yang sepi, saat matahari
sedang hangat, seolah bumi adalah tempat paling optimis di dunia, aku bisa melihat bayang-bayang Mamaku,
teriakannya yang menyuruhku bergegas sekolah, suara alat-alat dapur yang
berdenting dengan bau khas nasi gorengnya yang tak pernah gagal membuatku rela
telat sekolah asal bisa sarapan. Semesta selalu membantuku untuk merekam dengan
jelas raut wajahnya yang mengomel saat aku malas sekolah dengan pesan sama yang
sudah ku hafal di luar kepala, “Perempuan itu harus pintar. Nanti anakmu harus
punya Ibu yang hebat,” Pesan yang bahkan dulu tak pernah ku pahami arti utuhnya,
kecuali dengan ku balas anggukan, karena membayangkan boleh jadi besok lusa
anak-anakku tidak perlu capek-capek pergi les di siang bolong sepertiku, dan
boleh jadi aku tidak perlu mendengar omelannya seperti omelan yang selalu aku
bilang ke Mama, “Aku capek tau Ma,” dengan muka kusut kayak cucian dicuekin sebulan.
Dari mengamati
alam semesta itu, aku menangkap satu pesan, bahwa keindahan justru terasa
mengagumkan saat di lihat dari sudut pandang yang jarang di sadari manusia.
Membayangkan hari-hariku yang hanya berjalan di bumi tanpa perasaan. Melewati
matahari terbit, senja, purnama, wajah-wajah kusut para pedagang asongan,
hiruk-pikuk pasar dengan bau amis yang menyeruak, tanpa sekalipun menghadirkan
hati di tengah orkestra semesta yang boleh jadi selalu membawa pesan-pesan
kehidupan yang bijak dan dalam.
Media sosialku di
penuhi hal-hal indah yang bertebaran. Di naikkan algoritma. Penampilan, harta,
kuasa, pencapaian-pencapaian manusia. Dan seperti promo diskon natal; di
kerubungi manusia, di cintai, di suka, di puja. Tapi saat ku tanya pada diriku,
apakah melihat keindahan itu membawa keteduhan? Tidak seteduh saat aku bisa
menemukan keindahan justru lewat pandangan yang berbeda. Saat aku bisa memahami
alam semesta lewat memahami hal-hal yang jarang ku syukuri sebelumnya.
Tentu saja tak
semua manusia memiliki versi keindahan yang serupa dengan keindahan yang aku
anggap indah. Beberapa kali rasanya kita di hargai hanya karena keindahan. Atau
di remehkan juga karena keindahan. Tapi aksara-akasara yang di tafsirkan
semesta, pesan-pesan Tuhan yang murni dalam alam-Nya, selalu tulus, selalu
membawa kita pada pemahaman hidup.
Dan karena
keteduhan itu, aku berdoa, semoga aku selalu bisa bertemu dengan orang-orang
yang memaknai keindahan dengan pemahaman dalam yang tidak dangkal. Yang bisa
membaca aksara-aksara semesta sehingga hidupnya adalah kumpulan nilai kehidupan
yang mengantar pada terima kasih tulus pada anugerah Tuhan.
Komentar
Posting Komentar