Judulnya Tentang Hidup :V
Beberapa hal yang
semakin bertambahnya umur aku inginkan adalah hidup tenang, tidak punya beban
tanggung jawab yang banyak, dan seperti orang kebanyakan; punya keluasan menentukan
pilihan hidup untuk dijalani tanpa paksaan.
Aku selalu kagum
dengan orang-orang yang selalu yakin dengan pilihan hidupnya, pilihan hidup
yang secara sadar dan sukarela dia piih tanpa ada paksaan dari manusia-manusia eksternal
yang memaksanya menjalani. “Kamu Ra, yang punya kendali dalam hidupmu. Kamu selalu
punya pilihan dalam hidup,” kata seorang temanku.
Apa benar hidup
itu pilihan? Entah berapa lama, aku mencoba mencari akar-akar yang
tersembunyi dari kalimat yang sering diucapkan orang-orang. Merenung. Terdiam. Mencari
cocoklogi yang pas lewat banyak hal yang hilir-mudik muncul di antara dinamika
hidupku. Apa benar semua orang bisa
memiliki pilihan dalam hidupnya? Atau sebagian memang Tuhan pilih untuk dewasa
menerima apapun alur kehidupan yang sudah ditetapkan-Nya?
Dan aku sampai
pada kesimpulan bahwa, mungkin, semua manusia memang selalu diberi kesempatan
memiliki pilihan dalam hidup. Namun tak semua memiliki kadar yang sama dalam
memperjuangkan pilihan itu. Di dunia ini, misal saja, ada dua orang yang
memilih untuk mengenyam pendidikan tinggi. Orang yang satu dengan mudah bisa
memilih untuk langsung mengenyamnya. Orang satu lagi, dengan pilihan yang sama,
harus melalui banyak tantangan dan rintangan hanya untuk bisa memilih pilihan
hidup sama seperti orang yang pertama. Pilihan yang sama. Yang memilih
sama-sama manusia. Tapi konsekuensi dan tanggung jawab yang diemban saat
menentukan pilihan itu, antar manusia satu dan manusia lain ternyata bisa berbeda.
Ibuku selalu bilang,
bahwa aku tidak pernah boleh lupa dengan diriku sendiri. Mungkin beliau ingin
bilang bahwa faktanya dunia ini berputar sangat arogan. Sedikit egois. Tak semua
pedulimu yang dibuat dengan mengabaikan dirimu terbalas dengan kepedulian
serupa. Alih-alih berharap itu, hanya untuk keinginan supaya orang lain bisa
ikut juga memiliki kepedulian yang sama, sedikit sekali efeknya.
Dulu aku sering berseberangan
dengan Ibu saat beliau menasehatiku begitu. Namun semakin kesini aku sadar
bahwa, kebijaksanaan adalah tentang mengerti bahwa ada beberapa hal yang memang
sebaiknya ditinggalkan. Bahwa ada beberapa porsi yang seharusnya tak kita
emban. Bukan karena kita yang egois. Namun supaya kita memberi tempat yang baik
untuk diri kita sendiri.
Tentu saja itu
bukan berarti kita hidup dengan melepas semua amanah. Pada hakikatnya segala
yang sesuai porsi selalu memberi kebaikan untuk hidup kita. Termasuk tanggung jawab
dalam porsi yang pas akan teramat sangat dibutuhkan untuk seni tinggal di bumi-Nya.
Saat merasakan
betapa terkurasnya banyak hal saat mengemban tanggung jawab, tiba-tiba ada satu
kutipan yang muncul saat aku scroll instagram. Seperti ada yang mengirimkan
pesan diantara hari-hari yang dipenuhi hiruk-pikuk yang tidak satu-dua. Dan
saat membacanya semua diriku berhenti dan aku bisa pastikan ada yang turun di
hatiku; sebuah gerimis kecil.
Dan isi kutipan
itu kurang lebih begini:
Andaikan kamu
dulu bertemu dengan Bunda Khadijah, sebelum mengenal dengan Rasululllah,
sebelum mengemban amanah dakwah, sebelum beliau mengenal perjuangan untuk umat,
Maka tentu
saja yang kamu dapati adalah seorang perempuan mulia, terhormat, dengan
kekayaan melimpah, gurita bisnis yang luar biasa dengan delegasi dagang lintas
negerinya
Maka tentu saja
yang kamu temukan adalah rumahnya yang mewah, binatang ternaknya yang banyak,
ruang makan yang selalu ada hidangan diatasnya yang lagi-lagi tentu saja dengan
ornamen-ornamen khas keluarga bangsawan
Tapi, Bunda Khadijah,
setelah mengemban amanah dakwah, maka yang kamu temukan adalah seorang
perempuan yang waktunya habis untuk Islam, hartanya yang tak lagi sama untuk
dakwah, siang-malam rumahnya yang penuh manusia yang menghampiri Rasulullah, belum
lagi tiga tahun pengasingan yang teramat berat
Bunda Khadijah
yang sadar bahwa mengemban tanggung jawab itu sama dengan berjuang
Beliau yang bisa
saja memilih untuk hidup tenang, namun justru menggadaikan semuanya,
“Wahai Rasul,
andai tulang-belulangku bisa dipakai untuk membantu Islam, maka gunakanlah,” justru
itu satu pesan beliau sebelum kematiannya.
Sampai titik
membacanya, aku masuk dalam suatu perenungan. Tentang hidup Ummahatul Mu’minin
Bunda Khadijah. Bagaimana arus badai beliau saat memutuskan mengemban tanggung
jawab. Bagaimana di dunia ini ternyata ada manusia-manusia yang dunianya tidak
selalu berputar pada dirinya. Namun juga untuk sekitarnya. Ternyata yang cape
berjuang ga hanya aku. Ternyata kalau dikomparasiin perjuanganku mah masih sekelas butir turab. Dan setidaknya tahu sedikit siroh Bunda Khadijah ada yang luruh dari beban di pundak. Ada yang hilang dari cape.
Namanya juga idup. Kalau diperjuangin ya pasti ada capenya. Dinikmati aja. Mari kembvali berjuang, Tapi sambil sambat tipis-tipis di blog wkwk.
Komentar
Posting Komentar