Secuil Awal Oktober


 

image from google


Dulu begitu mudah rasanya membuka laptop walaupun tidak tahu harus menulis apa, untuk apa, akan dibaca siapa. Microsoft word akan menjadi destinasi favorit sesaat setelah layar desktop menyala. Mengetik apa saja yang ada di kepala dengan cinta. Walaupun hampir semuanya akan menjadi file yang tak pernah ditamatkan.

Bulan berlalu. Tahun berganti. Dan kini semuanya tak sama lagi. Hei lihatlah ... microsoft word hanya menjadi aplikasi yang dibuka ketika mata terbelalak karena deadline tinggal menghitung hari. Bukan. Bukan karena aku tidak mengerjakan tugas deadline juga dengan cinta. Tapi ... aku hanya rindu menulis sebebas yang aku bisa. Mengabaikan seabrek kaidah penulisan atau nama-nama ilmiah yang jujur saja selalu aku lupakan setelah tulisan selesai. Wassalam.

Dan disinilah aku. Di Ibukota suatu negeri benua hitam yang sedang musim panas.  Tapi entah kenapa akhir-akhir ini panasnya mengingatkanku pada Sidoarjo. Kota yang kurang lebih lima tahun menjadi saksi masa kanak-kanakku. Alhasil karena itu, setiap kali menyusuri jalanannya dan disengat cahayanya, aku merasa ada yang bermain di ingatanku. Wajah-wajah teman masa kecil, teriakan Mama ketika aku main dengan rambut berantakan tanpa di sisir, musholla kompleks, Ibu-ibu yang marah ketika aku ramai menggganggu tarawih, bahkan tempat favorit ketika main petak umpet bersama teman-teman bermunculan di kepalaku. Membuat rindu yang tidak mampu mengundang temu.

Ah ... masa kecil selalu begitu. Selalu memberi ruang bahagia ditengah hidup yang menuntut untuk bersikap tidak kanak-kanak. Untuk memahami bukan dipahami. Untuk diam ketika kita bisa marah. Untuk bersyukur walau sedang ada diatas. Untuk menerima walau sulit mengamalkan ikhlas. Dan untuk melepaskan walaupun ingin menggenggam.

Aku ingin meminta izin pada Oktober. Bisakah kita mengabadikan cerita ini untuk dikenang orang lain? Walaupun sampai saat ini aku belum tahu ingin menuliskan apa disini.

Oktober aku ingin mengeluh sakit. Tapi aku tahu bahwa ada orang disekitarku yang tubuhnya lebih rapuh namun mereka tetap tersenyum.

Oktober aku ingin mengeluh rindu. Tapi aku ingat bahwa saudaraku disana, di Bumi Palestina, bahkan tak sempat tahu rasanya rindu, sebab orang-orang terkasih mereka dirampas dalam hidup saat bibir mereka bahkan belum fasih bilang ba-bi-bu.

Oktober aku tidak ingin bilang awalmu sendu. Sebab boleh jadi syukur ku lah yang salah menyikapi banyak nikmat disekitarku yang sering tertutup keluh.

Jadi Oktober ... bisakah menjadi tempat aku mengeluarkan semua abstrak dari hatiku? Yang ingin menulis apa saja tentangmu. Tentang aku. Tentang Oktober pertamaku di Negeri Seribu Debu.

***

Apa bedanya Oktober dengan Juli, Agustus, atau September? Tahu tidak? Kalau kalian tidak. Aku juga sama tidak tahunya. Yang aku tahu Oktober berarti pertanda kalau setelah ini November, Desember dan wow! Selamat! Corona hampir merayakan setahun kedatangannya.

Tapi ternyata Oktober tidak semudah yang dibayangkan. Oktober ini rindu dengan Tanah Air benar-benar terasa. Rindu dengan orang-orangnya jangan ditanya. Aku kira dengan mencintai negeri tempat aku belajar sekarang, maka kadar cintaku akan berkurang pada Indonesia. Nyatanya tidak. Dan kupikir ... bagaimana bisa aku melupakan negeri dimana orang-orang yang aku cinta masih bernafas di dalamnya? Itu mustahil dilakukan.

Ini ternyata tidak semudah yang aku pikirkan. Ketika senja yang biasanya menjadi waktu favorit yang aku suka, menjelma jalanan Kota Malang dengan jajaran toko dengan lampu yang mulai menyala, kendaraan yang saling mengklakson ga sabaran, sampai warung bakso kesukaan Mama yang sering kita datangi kalau habis pergi ke luar kota.

Ditengah terik siangnya, kenangan-kenangan masa kecil itu bermunculan. Perjalanan hidupku yang berpindah-pindah mulai dari Surabaya, Sidoarjo, Jember, dan berakhir di Kota Malang selalu memberi kenangan berbeda yang membekas. Kadang menjadi kecil kembali adalah impian menarik yang sayang tidak mungkin diwujudkan kembali.

Malam juga tidak berjalan mudah. Ketika foto orang tua yang masih setia menjadi wallpaper layar handphone jadi sangat emosional. Mengaduk-aduk perasaan. Foto itu diam. Serem juga kalau bisa kedip kayak cerita lukisan Monalisa. Tapi lagi-lagi karena bawa perasaan, yang ada adalah ingatan-ingatan tentang mereka berdua. Tentang Mama yang sering ngajak minum es buah di pinggir pasar setelah pulang sekolah, tentang Papa yang selalu semangat menjelaskan masa kecilnya yang penuh perjuangan, tentang drama antar-jemput adek sekolah yang kebanyakan bikin kesel setengah hidup, tentang perjalanan hidup dari kecil hingga sekarang ... betapa kerennya Allah menguatkan hingga titik yang ga pernah ku sangka sebelumnya.

Siang tadi video call itu terhubung. Setelah tadi malam kebawa mimpi pulang ke Tanah Air dan kebangun sesaat sebelum pesawat take off. Dari situ ada yang kusadari ketika menatap wajah-wajah mereka. Orang-orang yang mau menjadi tempat aku pulang tanpa perlu bertanya apakah aku sedang diatas atau dibawah. Merekalah mungkin yang menjadi alasan, kenapa rumah dan Kota Malang masih menjadi tempat yang dirindukan untuk pulang. Sampai sekarang.

Tatapan tulus. Senyum yang disunggingkan tak peduli seberat apapun beban yang dipikul. Aku tahu bahwa seberat apapun Oktober ini, aku tidak sedang berjuang sendiri. Lihatlah. Boleh jadi kekuatanku masih bisa bertahan hingga sekarang adalah hasil dari do’a-do’a mereka yang dipanjatkan dan dihembuskan ke angkasa.

“Kenapa sih Kak kok belum makan? Beli makan gitu sih. Kan Mama udah bilang suruh beli jeruk nipis, beli jahe, siap sedia buah kurma. Kalau lagi ga enak badan begini diminum madunya, minyak zaitunnya juga. Diseduh pake air anget. Terus hindari tuh makan yang ga sehat-sehat ...  

Baru saja bilang apa, Mama sudah bicara panjang. Yang dulu-dulu kalau anak-anaknya protes pasti akan dibalas Mama dengan jawaban, “Mama tuh bukan cerewet. Tapi sayang.” Yaa begitulah. Kurasa setiap perempuan akan semakin bawel kalau dia udah sayang sebagai salah satu bentuk khawatir dan perhatiannya. Mungkin saja.

“Nah pasti lagi sariawan ya sekarang?”

Papa berbeda. Entah kenapa beliau bisa menebak aku lagi sariawan apa nggak. Walaupun kita nggak saling bertatap muka. Dan seperti yang sudah-sudah, setelahnya beliau akan menjelaskan tentang obat-obat sariawan yang manjur dipakai. Mulai dari obat kumur, bubuk, sampe penjelasan dokter tentang penyakit satu itu. Dan seperti yang sudah-sudah juga, aku hanya akan ngobati itu dengan obat anjuran dari Mama; kumur garem dan minum minyak zaitun. Simpel.

Percakapan sore itu diputus. Tapi tidak dengan hatiku. Entah kenapa ada rasa bersalah ketika menyadari bahwa aku belum bisa jadi anak yang baik untuk kedua orang tuaku. Khianat rasanya ketika ekspektasi mereka yang begitu tinggi tentang ‘anaknya yang belajar agama’ rasanya belum pantas disandingkan untukku. Allah ... jadikan kami adalah anak-anak yang selalu mengundang ridho-Mu dan ridho kedua orang tua kami.

Seteduh itu mereka selalu menjadi tempat pulang favoritku diantara hiruk pikuk dunia. Yang menjadi tempat berteduh paling nyaman tanpa perlu menjadi orang lain untuk merasakan cinta. Dan semoga sebagaimana mereka mengajarkan keteduhan dan menjadi tempat pulang paling nyaman, maka semoga saja besok lusa aku juga bisa demikian. Menjadi tempat pulang paling nyaman di masa tua mereka. Menjadi tempat pulang paling nyaman untuk keluarga dan anak-anak. Menjadi teduh tak hanya untuk diri tapi juga sekitar.

Oktober ini adalah bulan seperti yang sudah-sudah. Penuh perjuangan yang harus tetap dipenuhi harapan. Mungkin sesekali rapuh, sesekali berhenti, sesekali kehilangan nafas, tapi selama Pemilik Semesta masih memberi waktu untuk menapak di bumi-Nya, maka itu adalah amanah yang harus kita laksanakan. Membumikan kebaikan. Memberi sebanyak-banyaknya. Menapak walau bisa mengangkasa. Tegak walaupun ada pilihan untuk hancur ke dasar.

Bertahan tak pernah mudah. Tapi menjadi orang yang menyerah itu lebih menyakitkan. Ada banyak daftar orang yang sudah berjuang hingga kita ada di titik sekarang. Dan diantara ribuan nyawa yang Allah ambil karena wabah, detak jantung kita yang masih terasa hingga sekarang tidak boleh berlalu sia-sia.

Tak perlu menjadi tinggi dulu untuk memberi. Tapi memberilah supaya kau tau ada yang lebih indah dari sekedar terlihat tinggi.

Secuil awal Oktober. Terima kasih sudah menampung abstrak hatiku. Merangkainya menjadi tulisan yang semoga saja bisa ku baca hingga nanti aku bersama anak cucuku.

Oh iya Oktober, mari do’a bersama-sama, semoga Allah melimpahkan banyaak sekali himpunan kebaikan pada orang-orang yang sudah berbuat kebaikan, sekecil apapun bentuknya. Semoga saja orang yang belum tertarik melakukannya, masih sekeras karang hatinya, bisa luruh atas izin-Nya, hingga ia menjadi candu membersamai kebaikan-kebaikan di bumi-Nya.

Untuk Mama dan papa sekaligus dua adik perempuan yang mau dapet sepeda. Peluk jauh ya. I love you (all) to the moon and ga bisa back dah

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer