Komposisi Rasa Bulan Januari

shahihfiqh.com


Sejak dahulu entah sebelum aku mengetahui ketidak-gunaan merayakan tahun baru atau setelah sedikit lebih mengetahuinya, tahun baru memang bukan menjadi momen yang  ‘wow’ untuk dibahas. Aku justru lebih suka memikirkannya setiap malam, sebelum tidur, atau ketika pagi setelah aku bangun dari tidur. Memikirkan apa yang sudah aku lakukan hari ini. Atau sebaliknya, memikirkan betapa beruntungnya aku masih diberi tarikan napas walaupun dosaku terhimpun banyak. Masih Allah beri satu hari lagi ketika dibelahan bumi lain Allah dengan mudahnya mencabut kesempatan manusia untuk menghirup udara pagi. Dan itu amazing! Seorang ‘aku’ mendapat amanah satu hari. Itu sungguh membahagiakan sekali.

Dan disinilah aku sekarang. Di Bulan Januari. Sejak berhari-hari yang lalu aku sudah ingin menuliskan banyak. Seperti pabrik penghasil kataku ingin berebut ditumpahkan. Tapi lagi-lagi, ketika berhadapan dengan layar dan tuts keyboard yang berjajar, kata-kata itu justru menguap. Hampir tidak bersisa. Dan itu menyesakkan. Karena jika orang lain bertanya bagaimana bisa aku tidak terbebani ketika setiap hari harus menulis, bagiku menulis itu justru adalah hiburan tersendiri, satu kebahagiaan ketika seharian kita harus berkutat dengan muka-muka manusia yang beragam, tugas yang tidak satu-dua, ataupun agenda yang sering kebanyakan belum bisa terselesaikan. Dan kata-kata yang keluar, tersusun, terangkai, untuk kemudian terpost itu adalah kebahagiaan. Sebab aku menulis untuk diriku. Dan kebanyakan adalah apa yang aku dapatkan hari itu dari hidup.

Januari ini ada yang baru dari komposisi rasaku. Dari susunannya. Dari bahan-bahannya. Mungkin kalian menganggap ini postingan curhat. Tapi sejujurnya aku hanya ingin berhenti sebentar menulis sesuai dengan seabrek kaidah yang ada, tema-tema yang banyak diperbincangkan, ataupun aturan-aturan kepenulisan yang belum aku kuasai semuanya. Sesekali aku ingin menulis saja jujur. Apa yang aku rasakan. Tanpa ada orang lain yang berhak untuk memaksa. Jadi jika kalian tak suka . Lewati saja. Jika tak mau membaca. Tinggalkan.

Januari ini mengajarkan sesuatu yang baru untukku. Atas izin-Nya. Ketika sejak pagi aku punya agenda baru. Menghadiri suatu majelis hadits dan menghabiskan waktu didalamnya hampir seharian. Dan berlanjut di majelis yang berbeda di malamnya. Jujur saja aku merasakan sesuatu yang baru. Sebuah rasa yang pernah ada dulu. Ketika aku masih putih abu-abu dan duduk mendengarkan Ustadz menjelaskan bulughul maram atau ta’lim adabul mufrod. Sebuah rasa ketika kita merasa tenggelam dalam lautan-lautan keluasan ilmu-Nya, menyadari betapa bodohnya diri akan ilmu-Nya yang teramat sangat luas. Seperti sedang berenang dalam samudera dan begitu takjub melihat karang-karang berwarna yang ada didalamnya.

Dari lembaran-lembaran ilmu yang didengar, dari orang-orang yang aku temui dengan semangat yang menakjubkan, disitulah sebenarnya awal mula komposisi rasa ini ada. Aku dulu sempat mengira kontribusi pada ummat bisa dari mana saja. Ikut organisasi, aktif di lembaga kemanusiaan, mengisi seminar-seminar. Memang benar. Tapi ketika duduk di halaqoh ilmu-Nya, ada rasa yang berbeda. Rasa yang tidak pernah aku dapatkan ketika sibuk di kegiatan-kegiatan diatas. Rasa dimana hati merasa sedang menyalam di air yang semakin menyelam justru semakin membuat ingin menyelam lebih dalam lagi. Ada haus yang semakin diberi air justru meminta lebih.

Betapa bodohnya aku. Betapa apa yang kuketahui tak lebih kecil dari debu. Ilmu-Nya yang begitu luas. Ada makhluk-makhluk di bumi-Nya yang begitu membuat aku terpesona, yang rela membersamai agama-Nya, berjuang merelakan kakinya yang mungkin sakit, hatinya yang mungkin sedang tidak baik, atau mata dan otaknya yang selalu diperas untuk meniti huruf demi huruf yang tertulis. Allah, keikhlasan semacam apa yang bisa muncul tanpa kesadaran bahwa agama ini memang butuh penolong? Yang tak hanya berteriak berapi-api di reruntuhan tebing. Namun berjuang menyingkirkan dunia yang begitu silau untuk membersamai agama-Mu? Untuk meniti jalan menuntut ilmu-Mu? Merelakan banyak hal dari hidup mereka. Dari waktu, tenaga, harta, bahkan keluarga. Untuk menjadi penolong agama-Mu ya Allah. Untuk berebut warisan Nabi utusan-Mu.

Dan aku berterima kasih pada Allah yang telah memberi aku kesempatan untuk merasakan komposisi rasa ini. Untuk diberi Allah kesempatan bertemu dengan orang-orang yang mencintai ilmu-Nya. Melihat semangatnya. Menonton bagaimana menakjubkan adabnya. Zuhudnya penampilannya. Kerelaannya meluangkan waktunya. Sungguh aku masih jauh. Sangat jauh dari mereka yang menakjubkan itu.

Ya Allah dari langit delapan bulan januari yang terik, dari kebaikan dan rahmat-Mu yang melimpah untuk penduduk bumi. Aku mohon senantiasa dekatkan aku pada komposisi rasa ini, komposisi rasa dimana aku ingin berusaha mengetahui, walaupun aku yakin selamanya dengan keluasan ilmu-Mu aku tak akan mengetahui kecuali sedikit.

Ya Allah dekatkan aku dengan orang-orang yang bersamanya Engkau dan surga teras indah untuk diperjuangkan. Dekatkan aku dengan orang-orang yang bersamanya aku bisa menyelam keluasan ilmu-Mu yang menakjubkan. Dekatkan aku dengan orang-orang yang bersamanya banyak sekali kebaikan yang bisa aku dapatkan.

Dari hati yang senantiasa berbalik. Dari niat yang senantiasa perlu dibenahi. Tetapkan hati ini pada ketaatan dan kemudahan melaksanakan apa yang ditulis. Januari terima kasih juga ya untuk komposisi rasa ini.

 

Komentar

Postingan Populer