Ma’had Lughoh di IUA. Berkesan?
Setahun lalu aku masih ingat jelas, ketika aku pertama kali masuk ke kantor guru dengan membawa banyak ketakutan yang berkumpul dihatiku. Semuanya masih terasa asing. Termasuk suara-suara berbahasa arab yang masuk ke telingaku. Ibarat dengungan lebah yang masuk ke sarangnya, begitu pula dulu aku menangkap suara-suara berbahasa arab itu. Orang-orang dengan warna kulit yang berbeda, pakaian yang berbeda, dan bahasa yang berbeda memenuhi ruangan itu. Kantor Ustadzah Ma’had Lughoh. Disitulah aku waktu itu.
Seorang ustadzah
memanggilku. Bersiap memberikan pertanyaan-pertanyaan. Ibaratkan saja ini
adalah sesi wawancara kedua setelah wawancara kemarin aku memutuskan untuk
memilih masuk ma’had dulu bahkan sebelum Ustadzah sempat mengujiku. Lima hari
lagi ujian. Sebagai mahasiswa yang baru keluar qobul kloter akhiran dengan kemampuan kurang dari pas-pasan kayak
aku, memilih masuk kuliah langsung dan menghadapi ujian waktu itu terasa begitu
mustahil. Sangat-sangat mustahil.
“Kenapa kamu pergi ke Sudan?” Pertanyaan
yang sama. Yang aku terima di sesi wawancara pertama.
Dan sebagai
jawabannya aku juga menjawab dengan jawaban yang sama, “Buat belajar bahasa
arab. Karena dia bahasa Qur’an dan surga.” Jawaban yang selain sederhana juga
aku contek dari jawaban teman-temanku yang sebelumnya diwawancara haha.
Banyak
pertanyaan lainnya yang beliau ajukan. Sebenarnya itu bukan masalah. Tapi
seperti yang aku bilang diawal, suara-suara mereka masih terasa asing
ditelingaku, hanya seperti was wes wos yang
mungkin dalam satu kalimat hanya kudengar satu atau dua kata yang terasa
familiar di telingaku.
“Besok masuk sekolah. Jangan lupa bawa
berkas -berkas yang saya minta ...”
Mendengarnya
saja aku sudah senang sekali. Akhirnya setelah destinasi hanya seputar jawazat aja aku bisa kembali sekolah.
Banyak hal yang aku bayangkan tentang ma’had lughoh waktu itu. Bagaimana
teman-teman baruku? Asyikkah pelajarannya? Atau justu itu akan membuatku pusing
karena aku yang tidak paham? Akhirnya ... aku bisa menjadi murid ma’had lughoh
setelah sekuat tenaga meyakinkan orang tuaku yang bersikeras menyuruh langsung
kuliah biar cepet lulus wkwk atau
guru-guru di pesantren yang merekomendasikan hal yang serupa.
Besoknya setelah
mengurus berkas-bekas di jawazat bareng
Si Nailul, resmilah kita berdua masuk ke kelas. Dua orang anak baru yang masuk
akhiran ditengah pelajaran. Aku masih ingat bagaimana dulu teman-teman ma’had
lughoh yang bahkan satu orang pun tak kukenal menyambut kita berdua. Memberikan
salam secara serempak dan mengucakan selamat datang dengan ramah.
Hari-hari
menjadi murid ma’had lughoh pun akhirnya aku jalani. Nekat mandi walaupun waktu
itu musim dingin, masak sarapan, berangkat pagi-pagi menyusuri jalanan arkaweet yang masih sepi, sampai baru
pulang ketika adzan dhuhur mulai dikumandangkan di Masjid Ashidiqin. Aku juga
mulai terbiasa dengan bangku panjang di kelas yang sederetnya diisi oleh lima
orang, dimana kalau salah satu dari mereka ingin keluar, maka kita yang
disebelahnya harus ikut berdiri dan memberinya jalan. Awalnya begitu
merepotkan. Tapi lama-lama melihat wajah teman-temanku yang santai dan tulus
memberi jalan, kurasa aku juga perlu belajar biar tidak menganggap itu adalah
sebuah beban.
Jujur. Ma’had
lughoh IUA tidak pernah sesuai dengan bayanganku. Aku pikir ini akan seperti
cerita teman-temanku yang les di Kampung Inggris atau ikut privat di kelas
bahasa arab online yang marak
akhir-akhir ini.
“Kemarin kita sampai huruf apa? Jim? Baik
kalau begitu hari ini kita akan belajar huruf dal. Ketika dia berharakat
fathah, kasrah, dan dhammah.”
Hari ini adalah
pelajaran kitabah. Ustadzah Inshof
sudah menulis huruf dal dengan
harakat fathah, kasrah, dan dhammah di papan tulis.
“Dal dengan fathah yang ini dibaca pendek.
Dal dengan fathah yang ini dibaca dipanjang. Da ... Daa. Dal dengan kasrah yang
ini dibaca pendek. Dal dengan kasrah yang ini dibaca panjang. Di ... Dii. Dal
dengan dhammah yang ini dibaca pendek. Dal dengan dhammah yang ini dibaca
panjang. Du ... Duu.” Beliau sedang menjelaskan perbedaan dal berharakat biasa dengan dal apabila diikuti mad.
“Ayo ikuti apa yang saya baca.”
Dan seluruh
kelas termasuk aku mengikuti beliau mengeja huruf dal. Dan satu jam pelajaran itu kita habiskan untuk belajar
membacanya. Hal yang mungkin bagi sebagian orang Indonesia sudah rampung
dipelajari sejak taman kanak-kanak.
Dari situ sempat aku merasa berpikir, kenapa pelajaran ma’had lughoh adalah
pelajaran yang begitu mudah, benar-benar pemula, bahkan untuk mempelajari percakapan
dimana rumahmu dan bagaimana kamu pergi ke sekolah saja
kita bisa menghabiskan lebih dari satu jam untuk mempelajarinya sampai jam
istirahat tiba.
Hingga karena
ketidak-nyamanan hatiku dengan perasaan pelajaran ma’had yang diluar
ekspektasiku, aku mulai mengingat-ngingat nasehat salah seorang guru adabku di
Pesantren yang waktu itu membahas tentang ilmu. “Hanya karena kamu sudah mempelajari suatu ilmu. Bukan berarti ketika
ilmu itu sampai kedua kalinya kepadamu, ketiga kalinya, bahkan berkali-kalinya
dihadapanmu kamu berhak untuk menyombongkan diri, berhak untuk menampakkan
wajah tidak bersemangat dihadapan gurumu. Justru itulah sebenar-benarnya ilmu.
Semakin kamu mengulangnya, maka semakin kuat itu akan tertanam di dirimu.”
“Ilmu tidak melulu soal banyaknya lembar
yang kamu hafal, kaidah yang kamu pelajari, atau banyak hal yang semakin kamu
tahu dengan itu. Ilmu juga tidak melulu soal predikat mumtaz. IIlmu itu tampak dari bagaimana ia mengubah perilakumu.
Jika menuntut ilmu karena ridho Allah, maka tidak peduli walau kata manusia
kamu tidak mendapat apa-apa, kamu mempelajari hal yang remeh-temeh. Maka yang
dilakukan karena Allah itu pasti bernilai. Dan tidaklah imu itu selain
hakikatnya adalah mendekatkan kita pada Allah ...”
Dari nasehat
beliau yang alhamdulillah masih terekam, aku memutuskan untuk menghilangkan
wajah malasku yang berhari-hari ini kelepasan aku pasang. Bukan. Bukan karena
aku sempurna kemudian aku menuliskan ini karena aku sudah mampu selalu
melakukannya. Tapi sejak hari itu aku mulai berusaha menyugesti diriku kalau
aku belum pernah mempelajarinya. Aku melipat kedua tanganku-hal yang
benar-benar jarang aku lakukan semakin aku besar. Dan benar-benar memandang
guruku dengan artian tatapan Ustadzah
plis beri tahu aku ilmu. Walaupun sejujurnya aku ga tahu apakah tatapanku
akan berbeda tafsir dimata Ustadzahku wkwk.
Dan benar saja,
semakin kesini, aku merasa mendapat banyaak sekali hal di ma’had lughoh yang
boleh jadi tidak aku dapatkan kalau aku tidak memutuskan memasukinya.
Ustadzah-ustadzah di ma’had lughoh kebanyakan sudah berumur. Dan itu kabar
baiknya. Bagiku mereka adalah sosok Ibu yang benar-benar mengajari dengan kasih
sayang. Tidak terhitung bagaimana ditengah-tengah pelajaran mereka mengaitkan
materi dengan Al-Qur’an, dengan Hadits, dengan Siroh, dengan kisah-kisah
hikmah.
Satu waktu
sekelas hening. Hanya tersisa suara Ustadzah yang menjelaskan tentang bagaimana
kita tidak boleh memandang orang lain hanya untuk mengetahui aib. Suatu waktu
dipenuhinya langit-langit kelas dengan cerita Nabi yang membuat kita langsung
merindu. Diwaktu yang lain, seisi kelas menjelma tawa, ketika Ustadzah
mengingatkan kita bagaimana perempuan harus bersikap, ketika setinggi apapun
jabatannya tugas rumah itu adalah kewajibannya. Dan sekelas berangsur tegang,
ketika beliau mengisahkan cerita tentang seorang istri yang digugat cerai
karena suaminya mencintai pembantunya. Dan hari itu ditutup dengan sebuah
nasehat lembut. “Ya Binti. Wahai Anakku.
Kunasehatkan ini sebagaimana aku tak mungkin menasehatkannya pada laki-laki.
Nasehat yang kusampaikan untuk kalian. Dan kalian adalah putriku.”
Dan hari ini
adalah hari terakhirku di ma’had lughoh. Ujian itu sudah selesai dengan
Al-Qur’an sebagai penutupnya. Sampai sekarang aku memang belum punya stok
ketelatenan lebih untuk menyusuri chat-chat yang masuk apalagi chat grup. Belum
lagi kalau terpendam. Hingga hari ini aku harus kembali ke asrama selepas
ujian, akibat terlewat membaca grup, untuk kembali lagi ke ma’had karena harus
mengembalikan buku pinjaman dari sekolah.
Dan kakiku
langsung menuju ke kantor ustadzah. Kantor yang setahun lalu ramah menerima
seorang Faradilla yang kikuk bertemu dengan orang-orang baru. Aku salami
ustadzah-ustadzah disitu. Dan kudapati Ustadzah Inshof, guru kitabah yang baik hati mengajari kami
huruf hijaiyah, tanda baca, dan hukum hamzah sedang duduk dibawah.
“Ustadzah ...”
Aku hendak menyalaminya namun tanganku tidak mampu menjangkaunya. Wajahnya
pucat dengan kantong mata yang tampak jelas. Setelah berusaha namun tanganku
tatap tak mampu menjangkau tangan beliau, aku memutuskan masuk ke deretan
meja-meja, ikut duduk dibawah lantai, sebagaimana yang beliau lakukan.
“Ustadzah
sakit?” tanyaku setelah menyalaminya.
“Iya Fara. Wallahi aku merasa seluruh badanku
pegal.”
“Ustadzah sudah
minum obat? Ustadzah sudah ke dokter?” tanyaku.
“Belum. Aku
belum pergi.”
Aku sebenarnya
ingin menyumpal mulutku yang selalu kelepasan bertanya banyak. Aku malah
bertanya kenapa ustadzah belum pulang, kenapa ustadzah datang ke sekolah,
kenapa ustadzah tidak istrirahat, dan pertanyaan lainnya. Dan sebelum aku
kebablasan kembali bertanya,
“Ustadzah ...”
Kusentuh lengan beliau. “Coba minum obat-obat herbal. Minum zaitun, madu, atau
jeruk nipis. Jangan minum air dingin dulu Ustadzah kalau lagi sakit begini,
nggak baik, minumnya air hangat aja. Terus zaitunnya diminum pake sendok waktu
pagi sama sebelum tidur Ustadzah. Terus minum madu ya ustadzah ... dicampur
sama jeruk nipis terus diaduk sama air hangat, itu bagus buat ningkatin imun.
Ustadzah banyak istirahat ...”
Dan belum sampai
aku menyelesaikan kalimatku aku melihat beliau menangis. “Loh ustadzah kenapa
nangis? Ustadzah jangan nangis ...”
Beberapa
ustadzah lain mengisyaratkan aku untuk menjauh sebentar. Meninggalkan beliau
supaya tenang. Maka aku memutuskan pergi setelah berpamitan. Entah kenapa aku
juga tidak kuat menahan tangis mengingat sosoknya yang begitu tulus mengajar
kami.
Dan sebelum
memutuskan pulang, aku memutuskan mampir ke kelas. Kelas itu kosong. Hanya
menyisakan aku yang kembali mengingat teman-teman dari berbagai negara yang aku
kenal, awal-awal masuk yang butuh google
translate untuk berbicara, dan
wajah-wajah Ustadzah yang begitu baik memberi tahu ilmu yang tak pernah aku
ketahui sebelumnya. Terutama wajah Ustadzah Inshof yang pucat barusan.
“Ini Mbak Fara bisa nggak diganti untuk
jenjang pendidikan sekarangnya jangan ditulis ma’had lughoh ...”
Teringat ketika
beberapa kesempatan yang menuntut aku untuk mencantumkan jenjang pendidikan
sempat bertanya begitu. Yang diam-diam membuat aku berpikir, memang kenapa
dengan ma’had lughoh? Apa yang salah hingga aku harus terpaksa menggantinya dan
membual soal kuliah yang belum aku jalani? Jujur ma’had lughoh tidak hanya
mengajarkan kepadaku ilmu yang belum aku ketahui. Lebih dari itu dia
mengajarkan bagaimana cara kita bersikap untuk tetap bersemangat walaupun kita
sudah mengetahui apa yang disampaikan. Bertemu dengan teman-teman yang baik.
Bertemu dengan banyak kejadian unik. Bertemu dengan guru-guru luar biasa.
Panjang juga ya
aku menulis wkwk. Katanya menulis itu adalah pekerjaan untuk keabadian.
Mengabadikan maksudnya. Jadi aku tulis ini supaya besok-besok bisa ku baca dan
ku ingat. Dan bagi mata-mata yang sudah menyisihkan waktunya membaca hingga di
kalimat ini. Terima kasih. Kalian bisa menyimpulkan sendiri terkesankah aku
menjadi murid ma’had lughoh di IUA. Walaupun aku harus lulus dengan tahun yang
berbeda dengan teman-teman angkatan wkwk.
Entah apapun jenjang kita atau dimanapun belajar. Semoga selalu
Dia yang menjadi hulu, arus, dan muara semua perbuatan dilakukan.
MaasyaaAllah..
BalasHapus