Aku, Bis Kota, dan Sejumput Senja

 

kompasiana.com


Apa yang paling disukai saat SMA? Dua hal yang paling sederhana. Waktu penjengukan dan waktu perpulangan. Sebagai anak yang menghabiskan masa putih abu-abu di pesantren, hang out bukan hal yang paling dinanti sebenernya. Pergi ke outlet kopi kekinian, jajan makanan yang lagi viral, sama ngepoin background terbaru yang rilis di studio photobox di Mall sudah aku habiskan waktu masa SMP dulu. SMA kebanyakan justru diisi dengan nyari mangga di kebun tetangga, main air di bendungan kampung, renang di kolam ikan, bantuin bu dapur masak nasi sepuluh kilo, atau kisah-kisah lucu lain yang mau nggak mau ternyata ngangenin juga.

Setiap perpulangan hal yang paling aku suka adalah aku yang pulang tidak dijemput orangtua. Ketika temen-temen lain sudah memutuskan nggak nyuci baju biar bisa dibawa ke rumah, mamaku akan big no untuk hal yang seperti itu. Syarat pulang nggak kena omelan salah satunya adalah jangan menampakkan baju kotor di travel bag atau koper bawaan. Ditambah karena aku pulang sendirian, nggak dijemput orangtua, maka bawa pulang barang banyak juga bukan pilihan yang tepat. Nyusahin malah.

Biasanya aku bakal dijemput Bude ketika masa perpulangan pesantren itu tiba. Seringnya sih bawa baju-baju yang mau direturn atau diganti dengan baju yang laen dirumah. Sisanya hmm bawa apa ya lupa juga wkwk. Di rumah Bude yang kebetulan satu wilayah sama pesantrenku beliau bakal tanya, “Fara mau pulang kapan? Besok apa hari ini langsung?” Dan .. ketika ditanya seperti itu otakku akan langsung berhitung. Waktu libur pesantren yang sedikit, cukup sensitif buat ngabisin waktu diluar rumah sendiri. Tanpa hp pula wkwk.

Biasanya aku akan menjawab; Hari itu aku harus pulang. Barang yang aku bawa dari pesantren bakal tinggal di rumah Bude dan menyisakan satu ransel jins yang diisi beberapa baju, jaket, sama hp tulalit yang ga bisa buat main FB. Kalau sudah dijawab seperti itu Bude akan berbaik hati mengantarku ke pangkalan bis kota yang akan nganterin aku ke Kota Malang.

Dan cerita di blog kali ini adalah tentang itu. Tentang aku, bis kota, dan sejumput senja.

Bis kota itu akan lewat di jalanan besar. Maka aku cukup berdiri di jalan raya bersama beberapa manusia lain yang ikut menunggunya. Itulah kenapa aku selalu suka pergi saat senja. karena itu berarti masa menanti bis kota yang kadang ga dateng cepet ga ditemenin sama matahari yang lagi terik walaupun itu berarti kita juga harus terima resiko kalau-kalau bis kota bakal penuh sama para buruh pabrik yang juga abis kerja satu hari.

“Terminal Arjosari kan, Mas?” Satu bis merapat. Seorang kernet berteriak supaya kita segera masuk kedalam. Dan itu pertanyaan yang kadang aku ajukan, takut salah bis, dan malah nyasar.

“Iya mbak.”

Dimanapun kendaraan yang ada jendelanya, aku selalu suka duduk disampingnya. Tapi naik bis kota saat senja, menemukan kursi disamping jendela bukan hal yang mudah. Dapat kursi aja udah untung kali ya? Maka senja itu aku memutuskan untuk mencari duduk yang ‘paling memungkinkan’. Disamping bapak tua dengan wajah lelah yang matanya setengah terpejam.

Bis kota melaju perlahan, sesekali membunyikan klakson jika ada kendaraan yang sengaja betul ugal-ugalan. Cahaya matahari senja yang oranye dari luar jendela bis itu masuk kedalam, membuat kilau yang teduh disana yang juga membasuh wajah-wajah lelah para penumpang yang kebanyakan adalah buruh pabrik yang kerja seharian.

“Udah naik bis?”

Beberapa pesan masuk ke hp tulalit itu. Dari Mama. Tante. Atau Bude. Kadang juga disertai telepon wkwk. Memastikan kalau aku sudah naik dann ga ketiduran sampe sandar di bahu orang laen haha.

Teman-teman SMA pasti sudah meramaikan sosial media dengan status-status mereka tentang perpulangan. Tapi aku masih di bis kota. Yang sedang dibasuh senja. Jujur aroma bis kota, klakson, hingga suara deru bis itu membuat rindu. Ditambah dengan langit-langit bis yang dipenuhi dengan suara curahan hati para penumpang tentang apa yang mereka kerjakan satu hari ini.

Satu alasan yang membuat aku akhirnya suka pulang sendirian tanpa dijemput orangtua. Pake bis kota pula. Adalah orang-orang didalam bis kota itu. Para buruh pabrik dengan wajah lemas dan rambut kusut yang sebagian akrab menyapa penumpang sekelilingnya. Lantas bercerita lantang soal hidupnya yang begitu sederhana. Tentang pemecatan, rumah tangga yang kandas, anak-anak mereka yang sekolah, dan lain sebagainya. Sementara wajah-wajah lainnya akan menampilkan pemandangan orang-orang yang tertidur pulas di kursi bis yang tidak ada empuk-empuknya dibanding kasur Nagita Slavina.

Dari bis kota aku bisa belajar. Tentang warna-warna kehidupan yang tidak aku dapatkan mungkin ketika tidak pernah duduk disana. Kadang menyentuh titik syukur dalam hidup. Ketika pengamen-pengamen sepantaran yang seharusnya mengenyam pendidikan sepertiku harus melewati garis hidup yang lebih keras, yang sesekali mereka tuangkan dalam bait-bait lagu yang dibawakan.

Buruh-buruh pabrik yang begitu bangga bercerita soal anaknya yang sekolah, keringat yang ia keluarkan untuk membiayainya, mau tidak mau, juga menampar. Ah orangtua seringnya selalu menganggap kita benar-benar bisa dipercaya. Disekolahkan supaya pintar dengan keringat banting tulangnya. Dibanggakannya didepan teman-teman dan orang yang ditemuinya. Mana tahu kalau anaknya malas masuk kelas. Main-main saja hidupnya.

 Bis kota memelankan lajunya. Sampai di Kota Malang lalu lintas lebih padat dari kota-kota yang dilalui sebelumnya. Senja juga sudah hilang. Digantikan malam dengan gerimis kecil yang membuat rintik di jendela. Ini adalah tujuan terakhir bis ini melaju di jalanan. Aku pasti akan minta turun dipinggir jalan. Tidak mau masuk ke terminal. Dan berteduh disamping warung kopi emperan yang buka 24 jam wkwk. Biasalah. Sesederhana itu adalah pesan dari orangtua biar gampang nyarinya.

Dan cerita antara aku, bis kota, dan sejumput senja berakhir di aku yang akan turun disamping parkiran sepeda motor. Dengan tas jins dan baju yang terkena hujan. Plus kaki yang kesemutan . Suatu hari nanti semoga bisa kesempatan naik bis kota lagi. Pas senja. Duduk disamping jendela alhamdulillah. Sambil dengerin kisah-kisah senja mereka. Yang seringnya menyentuh perasaan. Walaupun ya ... udah nggak lagi anak SMA. Wkwk.

Btw kamu suka naik bis kota juga nggak? Pas waktu senja.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer