Dessert : Renungan Tentang Ibu


 Kalau kita melihat pemberitaan media massa akhir akhir ini, tentu tidak sulit menemukan kasus pembunuhan yang di lakukan seorang anak terhadap ibu kandungnya sendiri.

Seperti di lansir oleh kumparan.com ketika membahas lima kasus pembunuhan anak terhadap ibu kandungnya, salah satu kasus menyebutkan di Sulawesi Tengah seorang anak dengan inisial L ketahuan berbuat mesum dengan kekasihnya. Sang Ibu mengancamnya akan melaporkan perbuatan tersebut ke kepala desa setempat.

Karena takut dengan ancaman tersebut, Sang Anak di bantu dengan kekasihnya membunuh Ibu dengan mencekik dan menusuk tubuhnya dengan pisau. Sang Ibu meninggal di tempat. Kejamnya lagi pelaku berinisial L dan kekasihnya justru mengatur siasat supaya Sang Ibu terlihat tewas karena aksi perampokan. Untungnya polisi setempat berhasil mengidentifikasi tindak kriminal yang di lakukan oleh anak kandung dan kekasihnya tersebut.

Dari kisah tersebut
Bisakah kita merenung
Betapa kita memang sedang di hadapkan pada suatu zaman.
Dimana banyak orang sudah tak memakai akal dan hati nurani ketika bertindak.
Hawa nafsu menjadi Tuhan.
Kiblat mereka bukan lagi teladan teladan mulia.
Melainkan sekelompok musuh islam yang gencar menyerang pikiran dan iman.
Liberalisme. Sekularisme. Feminisme. Free sex. LGBT. Dan berbagai agenda penghancur akidah lainnya.
Apakah gadis berinisial L itu tidak mengingat ...

Siapa yang dulu meregang nyawa hanya untuk memberinya kesempatan melihat dunia?

Siapa yang dulu senantiasa menggendong, menyusui, hingga membersihkan kotoran dengan tangannya sendiri ketika ia bahkan tak mampu dan masih menjadi makhluk lemah?

Siapa yang sejak dulu tak pernah putus menguntai doa untuk kesuksesan dan kebahagiaan?

Siapa yang dulu penuh raut khawatir ketika dirinya jatuh sakit? Tak pernah mengeluh walau mungkin dia harus terjaga sepanjang malam untuk menina-bobokkan.

Siapa yang memberikan senyum manis ketika pertama kali pulang sekolah? Tidak sadarkah jika senyum itu adalah anugerah Allah yang memberinya malaikat sebaik ia untuk menghadapi dunia yang kejam.

Siapa yang pernah menyempatkan diri untuk peduli, melihat peluhnya memasakkan kita masakan dengan bumbu cintanya?    

Walau mungkin dia pernah menyakiti. Atau pernah memarahi. Apakah kita tidak menyadari, mungkin saja tujuannya hanya untuk menjadikan kita sosok yang lebih baik.

Bagaimana kita bisa meremehkan cintanya? Menyepelekan kehadirannya? Megacuhkan nasehatnya? Jika Allah sendiri yang memerintahkan untuk menghormatinya?

“Dan Rabb-mu menyuruh manusia untuk beribadah kepada-Nya dan selalu berbuat baik kepada orang tua. Jika salah satu atau keduanya berusia lanjut. Maka jangan mengatakan ‘ah’ dan membentaknya” (Al-Isra’ : 23)

“Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang baik dan rendahkan dirimu dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangi keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil” (Al-Isra’ : 24)

Dan Kami memerintah kepada manusia untuk berbakti kepada orang tua, ibu yang telah mengandung dalam keadaan lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kalian kepada Ku dan kepada orang tua. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali.” (Luqman : 14)

  “Dan apabila keduanya memaksa mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang  tidak ada pengetahuannya, maka jangan kamu mengikutinya. Pergaulilah keduanya dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan apa yang kamu kerjakan.” (Luqman : 15)

Bukankah Rasulullah juga sudah menjelaskan tentang betapa istimewanya seorang ibu?

Dalam kitab shahihain oleh Abu Hurairah, ada laki-laki bertanya kepada Nabi : “Rasulullah, siapa diantara manusia yang harus aku pergauli dengan sebaik-baiknya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu” Ia bertanya lagi : “Lalu siapa lagi?” Nabi menjawab kemudian : “Ibumu” Laki-laki mengulangi pertanyannya : “Lalu siapa lagi?” Nabi kembali menjawab : “Ibumu” Ia pun mengulangi pertanyaannya kembali : “Lalu siapa?” Rasulullah menjawab : “Bapakmu”.

Betapa pentingnya berbakti kepada Ibu dan keridhoannya sampai sampai para sahabat, tabi'in, dan ulama' sangat memperhatikan perkara ini.

Ibunda Ibnu Mas'ud suatu malam minta di ambilkan air. Ibnu Mas'ud membawakannya. Tetapi ketika datang dengan air, ibunya telah terlelap tidur. Akhirnya ia duduk di dekat kepala ibunya dengan air di tangannya sampai subuh.

Ibnu Hasan at-Tamimi hendak membunuh kalajengking. Tetapi kalajengking itu telah lebih dahulu masuk lubang. Dia memasukkan jarinya ke lubang tersebut dan kalajengking menyengatnya dari dalam. Seorang bertanya, "Mengapa anda lakukan itu?" Dia menjawab, "Aku takut kalajengking itu nanti akan keluar dan menyengat ibuku."

Kisah lain, Uways Al-Qarni seorang pemuda fakir lagi miskin yang menjadi orang yang terijabahi doanya karena baktinya terhadap ibunya. Ia rela menggendong ibunya dari Yaman ke Mekkah untuk menuruti keinginan ibunya berhaji. Ia juga rela memupuskan harapan menunggu Rasul pulang dari peperangan karena teringat pesan ibunya untuk segera pulang.

Sampai sampai Rasulullah bersabda : "Sebaik baik tabi'in adalah laki laki yang bernama Uways. Dia punya seorang ibu yang dia perlakukan dengan baik. Kalau dia bersumpah atas nama Allah, pasti dia menepatinya  ciri cirinya dia ada warna putih (bekas kusta) di tubuhnya. Temuilah dia dan pintalah dia untuk memohonkan ampun untuk kalian "

Dari tiga kisah tersebut, bukankah kita melihat bagaimana orang orang sholih berbakti kepada ibunya?

   Sungguh ironis jika melihat fakta dan realita sekarang dimana anak justru meremehkan perkara berbakti kepada orang tua? Apalagi jika sang anak merasa sudah lebih 'segalanya' dari mereka.

Kalau surga saja ada di bawah telapak kaki ibunda. Bayangkan saja betapa mulianya posisi seorang ibu hingga surga yang begitu menawannya hanya sejajar dengan bawah kakinya.


Lantas, apakah kita ingin menyia nyiakan pintu surga yang terbuka lebar dengan tidak berbakti kepadanya?

Komentar

Postingan Populer