Request Post : Melupakan Tanpa Rasa Sakit
Kota Surabaya tampak indah malam itu. Beribu-ribu watt lampu menyala di kota yang menjadi metropolitan kedua setelah Jakarta. Kota ini tak pernah sepi. Seolah berdetak setiap waktu. Surabaya lebih terlihat indah ketika malam. Gedung-gedung pencakar langit, lampu-lampu jalan, cahaya dari papan-papan billboard yang tersebar di sepanjang jalan, dan lalu lalang kendaraan membawa suasana tersendiri bagi orang yang mau meluangkan waktu untuk menikmatinya. Sangat memikat. Dan melankolis.
Gadis di sebelahku justru sebaliknya. Matanya sendu. Ada pancaran penuh luka ketika kami tadi tidak sengaja bertatapan. Seharusnya gadis itu juga menikmati pemandangan malam ini bukan? Apalagi posisinya yang berada di sebelah jendela. Itu lokasi strategis untuk melihat pemandangan kota.
Tiba-tiba aku melihat dia menangis. Terisak dalam hening karena kita sedang berada dalam bis yang mengantar peserta olim ke tempat peristirahatan. Ah, aku tidak suka melihat pemandangan seperti ini. Sosok di sampingku mengingatkanku pada aku yang dulu. Yang rapuh karena makhluk.
Aku mulai menebak-nebak. Kalau tangisan gadis itu karena cinta bisa gawat. Surabaya yang indah malam ini saja dia tidak bisa menikmati. Jangankan ketika nanti kita tiba di asrama haji dengan Ac yang terlalu dingin dan kamar yang beda jauh dengan suite hotel. Apakah malam ini dia bisa memejamkan matanya?
Dalam banyak kasus, ada beberapa orang yang tidak suka dengan sikapku yang terlalu mencampuri urusan. Tapi sungguh itu bukan niatku sebenarnya. Dalam kasus ini aku ingin membantu Si Gadis yang terlihat amat terpuruk. Barangkali aku bisa membantu.
Mata kami bertatapan. Aku sungguh paham tatapan itu. Itu tatapan yang terluka karena cinta dan pengharapan. Itu tatapan rapuh dan terpuruk.
Hingga suatu hari sebuah pertanyaan muncul darinya :
"Bagaimana cara kita melupakan tanpa rasa sakit?"
****
Bagaimana cara kita melupakan tanpa rasa sakit?
Pertanyaan itu muncul. Aku terdiam. Berpikir panjang. Bagaimana cara kita melupakan tanpa rasa sakit? Jika melupakan disini adalah dalam hal rasa yang mungkin sudah terlanjur dalam atau sosok yang sangat kita cintai.
Ini sungguh pertanyaan yang akan melahirkan pernyataan yang terkadang sulit di terima bagi orang yang sedang terluka.
Pada hakikatnya ketika kita mencoba melupakan, itu bukan hal yang tepat untuk menghapus rasa. Semakin kuat upaya kita melupakan maka semakin besar pula medan magnet yang berusaha menarik kita. Seperti ketika kita berteriak di ruangan menggema, maka pantulan yang di hasilkan akan semakin besar. Karena sebenarnya bukan melupakan yang jadi masalah. Tapi bagaimana kita melapangkan hati untuk menerima takdir yang menjadi suratan hidup kita.
Ah ya, tentang menerima.
Bagaimana cara menerima dan berlapang dada?
Bayangkan apabila kita menyimpan air dalam suatu wadah. Kemudian coba kita isi wadah tersebut dengan bubuk kopi hitam. Apa yang terjadi? Air dalam wadah itu menjadi hitam pekat. Dan rasanya tidak ditanya lagi. Pahit bukan main.
Berbeda jika kita menabur bubuk kopi pada sebuah telaga yang luas. Berkilo-kilo bubuk kopi pun, air telaga tidak akan berubah rasa dan warnanya. Tetap sama. Bening. Jernih. Dan menyegarkan.
Begitu pula halnya dengan hati. Jika hatimu sempit - seperti air dalam wadah, maka ketika kehidupan memberimu kopi pahit, kau akan ikut menjadi pahit. Tidak enak di minum dan di nikmati. Berbeda jika kau memiliki hati selapang telaga. Apapun yang di tuang kedalamnya, pun jika itu tidak enak, maka air telaga akan sama rasanya. Tidak berubah. Tetap menjadi telaga yang menyenangkan dan melepas dahaga bagi siapa yang meminumnya.
Berarti menerima adalah pilihan hati. Apakah kita mau melapangkan hati untuk menerima semuanya dan mengikhlaskan apa apa yang memang menjadi takdir hidup atau memilih meratapi hidup dengan sakit hati. Karena jika kita bersedih kehilangannya, boleh jadi hadirnya saat ini tidak baik untuk kita.
Seberapa banyak rasa sakit yang ia beri pada kehidupan kita.
Seberapa banyak harapan yang berhenti di mulutnya.
Seberapa banyakpun janji yang tidak pernah di tepatinya.
Ah, sudahlah.
Belajar ikhlaskan semuanya. Maafkan kesalahannya. Jika itu terasa sulit, ketahuilah membencinya hanya menjadi beban di hidupmu sendiri. Sudah cukup lukanya. Jangan biarkan hatimu lelah dengan membencinya. Maafkan. Karena dengan itu kamulah yang menjadi pemenang. Ya, memenangkan pertarungan siapa yang sebenarnya paling bijak menyikapi luka.
Bahagialah ketika dia bahagia. Bersedihlah ketika dia dalam kesulitan. Jangan karena dia dulu pernah menimbulkan luka dan tangis di hatimu, kamu berbalik hati membencinya dan bahagia ketika dia terluka.
Kalau melupakannya adalah hal yang teramat sulit. Jangan pernah lakukan itu! Melupakan hanya untuk orang yang lemah dan pengecut. Belajarlah menerima, lapang dada atas semua yang telah terjadi. Dengan begitu kamu akan jadi orang yang kuat dan tidak pernah rapuh karena berusaha melupakan. Sebaliknya, kamu akan menjadi orang yang tersenyum mengingat semua kenangan.
Jadi jika kamu masih sakit hati. Bisa jadi kamu masih belum ikhlas melepaskannya. Jika yang kamu berat lepas adalah hubungan yang tidak di ridhoiNya betapa ruginya ketika kamu secara tidak langsung menolak hidayah dariNya.
Ikhlaskan. Maafkan. Dan jadikan dirimu menjadi pribadi yang lebih baik dari kamu yang dulu. Isi waktu luang dengan hal produktif dan banyak banyak mengingat Allah.
Nantinya ketika kamu sudah bisa mengikhlaskan. Maka percayalah. Rasa sakit itu akan hilang. Dan kerennya lagi, kamu tak perlu susah payah melupakan. Karena keikhlasan akan membuat proses ini akan lebih mudah. Insha Allah.
*)ditulis oleh orang yang tak sebaik postingannya untuk menjawab pertanyaan kak @tyasal_p (semoga selalu bahagia dengan bahagia yang mendekatkan pada rasa syukur kak:))
Komentar
Posting Komentar