Tulisan Untuk Diri Sendiri (Eps. 02)
# Batas sabar di Kilometer Nomor Berapa?
Sebenarnya sampai mana batas sabar itu?
Ini masih hari
keempat pemutusan internet. Setelah dua hari sebelumnya nyala beberapa jam.
Awalnya pada hari-hari pertama pemutusan, aku melakukan hal-hal yang sangat-sangat
membosankan dan tidak berfaedah sama sekali. Apalagi kalau bukan tidur. Bangun.
Lihat hape yang masih nggak menunjukkan tanda adanya sambungan internet. Tidur
lagi. Bangun. Untuk cepet-cepet pergi tidur lagi, berharap satu hari itu cepet
selesei, untuk kemudian kita juga akhirnya menghadapi hari besok yang belum
tentu lebih baik dari hari ini. Yeah luar biasa. Menyebalkan sekali diriku ini.
Yang paling
menyakitkan dari semua itu adalah, fase melawan diriku sendiri. Melawan rasa
bosan. Yang ujung-ujungnya berakhir pada rutukan yang menyalahkan keadaan. Kenapa harus rakyat-rakyat Sudan itu
melakukan demonstrasi? Penggulingan pemerintahan lagi? Hah! Yang bener aja. Hal
ini merugikan banyak hal. Banyak pihak. Bisakah ada cara paling mungkin untuk menstabilkan
tanpa aksi-aksi yangg ... yang apa? Oh tidak, sekarang penyalahan itu,
justru tertuju pada Tuhan. Allah ...
kenapa harus begini?
Jujur. Aku
paling benci melawan musuh bernama diriku sendiri. Paling paling paling
membenci. Karena selain lelah. Rutukan-rutukan kebencian itu menggema pada
langit-langit pikiran dan perasaanku sendiri. Yang kadang terlalu besar untuk
diceritakan, pada dunia. Yang terlalu berat. Terlalu berat untuk dicari secara
singkat apa hikmah dari semua rasa sakit ini. Ya Allah ... manusia cengeng
sepertiku, harus menangis lagi, untuk ujian-ujian kehidupan lagi. Tuh kan tuh
kan, aku menulis blog ini aja dengan mataku yang hampir berair.
Pada suatu pagi,
sebelum adzan subuh berkumandang, aku keluar ke area balkon asrama. Heii tidak
untuk percobaan bunuh diri gais. Aku diam disana. Menatap potongan bumi
dihadapanku yang begitu tenang. Tidak ada hiruk-pikuk kendaraan. Dengan langit
yang benar-benar bersih. Dan lampu-lampu jalan yang temaram. Sayup-sayup masjid
mengumandangkan adzan pertama, tanda waktu tahajud sebelum adzan kedua yang
menandakan adzan subuh berkumandang. Pada saat itu aku menarik napasku yang
terasa berat. Mengaturnya. Mengeluarkannya pada hawa Sudan yang sejuk saat
matahari belum muncul di cakrawala.
Ya Allah ... Sabar itu apa?
Sabar itu sampai kapan?
Sabar itu, dimana batasnya?
Andai tidak ada, bagaimana mengusir
pikiran-pikiran buruk
Yang selalu bertanya ada dimana batas sebuah
rasa bernama sabar ...
Dia sebenarnya ada di Kilometer nomor
berapa?
Aku menarik
napas lagi. Beberapa teman kamarku terbangun, bergegas ke kamar mandi untuk
mengambil wudhu, lantas dalam sunyi melaksanakan tahajud. Adzan subuh hampir
tiba. Tapi, sebentar Tuhan, aku ingin berbicara pada-Mu, pada diriku sendiri,
pada jalanan sepi yang selalu menyimpan misteri negeri ini.
Aku teringat
kata mamaku, suatu hari di perjalanan yang mengantar kami pada suatu kota, saat
mataku asyik menatap pemandangan dibalik jendela, beliau berkata, “Nak ...
orang yang bersabar ketika diuji itu orang hebat. Tapi, kamu tahu, Nak, apa
yang lebih hebat dari itu? Orang yang bisa bersyukur, saat dia justru sedang
diuji sama Allah. Bilang alhamdulillah saat
ujian itu sedang menimpanya.”
Kata-kata itu masuk
pada udara sepi yang ikut masuk dalam nafasku. Mengalir pada semua pembuluh-pembuluh
yang membawa udara itu masuk ke semua sistem peredaran tubuhku. Kata mama, orang yang justru bersyukur
ketika ditimpa musibah. Ealah. Bersabar aja tidak mudah ...
Tiba-tiba
perenungan itu muncul. Aku masuk pada kesadaranku akan sesuatu. Berbicara pada
diriku. Seorang Faradilla yang bertanya, mengapa, mengapa harus yang seperti
ini model ujiannya.
Mungkin. Allah memang memutus internet, Ra.
Tapi Allah masih memberimu sambungan nafas. Coba bayangkan andaikan Dia memutus
nyawamu yang compang-camping ibadahnya nan banyak dosa? Bukankah itu lebih
mengerikan? Kamu bahkan tidak sempat menyadari kalau kesempatan beramal solehmu
sudah tiada.
Mungkin. Allah memang memutus internet, Ra.
Astaga hanya internet, Ra. 365 hari dikali berapa kamu menikmatinya? Memiliki
nikmat mengaksesnya. Sekarang Allah mengambilnya sebentar, lantas kamu seolah
meniadakan nikmat ribuan hari kamu menikmatinya? Ini perbandingan keluhan, yang
teramat, sangat, tidak ada adilnya.
Tapi, Allah. Internet membuatnya rindu pada
orangtuanya. Pada keluarganya. Semalam tidurnya malah dihiasi wajah-wajah
mereka yang tampak begitu dekat, menjadikan rindu itu berwujud semakin nyata.
Astaghfirullah. Faradilla ...
Mungkin memang benar. Kamu sekarang nggak
bisa mengetahui kabar mereka. Atau boleh jadi sebaliknya, mereka juga khawatir
dengan kabarmu sekarang. Tapi coba bayangkan, anak dan istri petinggi-petinggi
negara itu, yang ayahnya mungkin jadi sasaran tawanan dan amukan warga sipil.
Bisa kau bayangkan atmosfer menakutkan rumah mereka? Ketakutan bahwa boleh
jadi, manusia-manusia yang tidak berpikir panjang kalau nyawa hanya selembar,
membunuhnya. Atau ... ya jalan hidup yang akan mengubah poros keluarga itu esok
lusa. Semua kemungkinan buruk bisa terjadi sekarang. Masih baik nasibmu yang
hanya tidak tahu kabar. Setidaknya orangtuamu bukan ikut tinggal di negeri
dengan dinamika abrakadabra bernama Sudan.
Aku diam. Itu
semua tadi adalah pembicaraan dari hatiku. Yang hanya disalurkan wajah dengan
tatapan dalam pada potongan bumi yang tenang disekitarku. Andai Allah tidak mengembalikan nafasku, mungkin ujian ini akan lebih
rumit. Andai Allah tidak menyuruh mataku untuk berkedip, mungkin ini akan lebih
menyakitkan. Andai ... Allah tiba-tiba memutus nikmat pendengaran. Hufft apa
gunanya walaupun ada internet, aku bahkan tidak bisa mendengar banyak hal.
Termasuk nasehat orangtuaku.
Banyak. Banyak. Banyak.
Andai kau hitung nikmat Allah. Niscaya kamu
tidak mampu menghitungnya. Firman indah-Nya jelas berkata.
Aku mengarahkan
pandanganku ke langit. Sedikit, dramatis memang wk. Tapi setiap melihat
potongan bumi ini yang tenang, entah kenapa, aku selalu merasa nyaman. Aku malu
sebenarnya mengatakan, kalau aku jatuh cinta pada negeri ini. Kemarin temanku, seorang warga negara
Tanzania yang menyuruhku pulang saja ke Tanah Air bertanya, dari hal apa aku
bisa mencintainya?
Dan aku ... juga
tidak pernah tahu jawabannya. Perasaan itu muncul setiap kali aku melihat
potongan langitnya yang bersih ketika fajar, untuk kemudian menyaksikannya
keemasan saat senja, dan bergemintang dengan bulan yang menggantung utuh saat
malam, disitu aku jatuh cinta. Aku juga mencintai orang-orang yang kutemui
didalamnya. Bisakah kita sama-sama membayangkan, bertemu dengan manusia dengan
ketulusan, yang muncul karena sebuah tempaan kehidupan di negeri yang insya Allah, mari doakan bersama,
menjadi negeri yang begitu berkah dan aman untuk manusia. Aamiin.
Sudan baik-baik
segera ya. Sabar insya Allah, bismillah. Tapi jaringan, ya Allah, tolong, plis,
datangkan. Hehe.
Komentar
Posting Komentar