Tulisan Untuk Diri Sendiri (Eps. 05)
Waktu kecil
mamaku bilang, kalau aku cocok sekali besok lusa jadi pegawai BMKG, itu loh
badan pengamat cuaca yang biasanya ngerilis ramalan cuaca hari ini. berawan
kek, gerimis, hujan lebat, cerah, sedikit cerah, badai, puting beliung, topan,
tornado, dsb. Hanya karena kebiasaanku dulu, yang gara-gara trauma sama suara geluduk. Wait, bahasa indonesianya apa
ya? Bentar, bentar kok jadi lupa.
Geluduk is ...
Apa sih eh.
Guntur? Serius
nggak sih itu bahasa indonesianya? Petir, nggak sih? Yang mana hiks yang bener?
Iya itu gara-gara
trauma sama suara guntur. Aku suka banget sering ngeliat jendela rumah, diam
disana, mencari dimana awan abu-abu itu ada kemudian menganalisis kemana arah
yang mau dia tuju. Analisis itu juga melibatkan angin, angin itu akan bawa awan
itu kemana, sampe ka atap rumahku kah? Dari situ aku juga mulai tahu, untuk
tidak dibilang sok dukun, beda hujan kalau awannya abu-abu tua sama muda.
Intinya analisis ini nggak seperti, omongan mamaku yang membuatku mau jadi
petugas BMKG, toh pengamatan ini dilakukan karena dasar rasa takut dan trauma.
Dan itu nggak enak sekali.
Aku akan sedikit
takut, kadang juga banyak, kalau-kalau awan-awan abu-abu hitam, yang kata
pelajaran IPA namanya kumolonimbus itu membawa hujan lebat sekaligus kilat dan
geledeknya. Dulu sejak kelas empat, saat keluarga kami pindah ke rumah Umi;
panggilanku untuk nenek dari mama, di Kota Jember, hmm kota itu punya curah hujan
yang cukup gede. Sepaket sama halilintarnya yang nggak kalah gede.
Dan ketakutan
itu bermula, saat aku pulang sekolah, pas hujan lebat turun, dan kota itu
dibasuh dengan jalanan becek dan petir yang menyambar-nyambar, persis seperti
trailer film kiamat 2012 yang hebring pada
masanya. Aku yang terjebak diemperan toko bersama orang-orang lain yang tidak
kuasa melewati jalanan dengan hujan lebat dan sambaran petir itu berkali-kali
berdzikir. Asli nggak bohong. Itu serem banget. Orang-orang dewasa disekitarku
sampai menutup telinga, karena suara dentuman petir yang cukup keras. Entah apa
yang dulu aku tutup, entah kuping atau malah mulutku, sekecil itu, aku pernah
dengar orang-orang bilang, kalau ada kuping jangan tutup telinga, eh, sori,
salah, kalau ada petir jangan tutup kuping maksudnya. Katanya bisa bikin tuli.
Aku percaya aja. Jadi waktu itu segede-gedenya suara petir itu menggeggerkan
gendang telinga, tetep aja nggak berani
tutup kuping.
Dan hei, ketika
musim hujan lebat itu tiba, konon petirnya sampai bisa menumbangkan pohon
kelapa, tahu dari mana aku? Ya karena pohon kelapa deket rumah roboh kena
sambaran petir itu. Dan konon lagi, juga berdampak pada nyawa orang, terutama
orang-orang yang lagi di sawah. Biasanya setelah peristiwa hujan itu reda,
berita tentang orang yang meninggal kesambar itu ma’ruf terdengar, oh iya, plus
tiang listrik yang kadang sampe bengkok juga kena kesilawan luar biasanya yang
membawa entah berapa muatan listrik alami, kuasa Sang Pencipta.
Dari situ, kabar
tentang ketakutanku sama petir, diketahui sama temen-temen SD ku. Waktu sholat
jamaah ashar di mushola mungil SD ku dulu, waktu abis tahiyat awal, tepat
banget jendela mushola yang hanya dari kawat yang disusun berpola itu
menampilkan sambaran kilat yang begitu terang, untuk sepersekian detik
berikutnya, suara petir itu terdengar begitu keras. Aku yang saat itu lagi makmum
sholat langsung duduk, dan mencondongkan badanku ke sahabatku yang sholat
disebelahku, saat ngeliat wajahnya,bukannya ngademin, dia malah nahan ketawa,
mati-matian ga ngeluarin suara biar sholatnya nggak batal.
Itu sekelumit
kisah masa lalu Faradilla dan petir. Kadang aku geleng-geleng kepala, nggak
biasanya aku bisa menulis sejujur ini di laman manapun. Mungkin karena
kebanyakan itu semua adalah tuntutan pekerjaan gitu, xixi. Tapi disini aku
bahkan bisa menulis, semuanya, rasa takut masa kecilku, yang ya, orang lain yang
membaca mungkin bisa jadi ketawa, tapi aku yang menuliskannya, yang tahu betapa
menyakitkan punya rasa takut itu, begitu berterima kasih pada Allah, yang sudah
membuatku melewati masa-masa takut itu.
Dan kini,
beberapa tahun, sejak kejadian itu berlalu. Aku, seorang Faradilla yang sama, tapi
di benua yang berbeda, punya kebiasaan yang sama, walaupun kali ini titik
fokusku tentu saja bukan awan kumolonimbus itu. Mana ada di Sudan model begitu.
Kalau bisa dikatakan jarang. Aku sering naik ke lantai lima, tempat rooftop asramaku ada, memperhatikan
jalanan Sudan yang akhir-akhir ini sepi, lantas menghitung berapa titik kepulan
asap, yang dihasilkan oleh pendemo itu berjumlah, semakin tidak ada, kabar
adanya internet itu boleh jadi semakin besar harapannya.
Satu, dua, aku
menghitung dalam hati. Mengelilingi rooftop.
Memperhatikan semua bagian bumi dimana mataku bisa menjangkau. Timur, barat,
utara, selatan. Berkeliling lagi, kali ini, bertanya, apa yang mereka bakar,
ban truk kah? Jadi ban truk bisa menghasilkan asap sejauh itu? Aku bertanya
lagi. Kepulan asap itu radius lumayan jauh, namun dengan fasilitas rooftop lantai lima asrama, asapnya
masih bisa terlihat. Dan tiba-tiba langkahku terhenti. Ada satu titik kepulan
asap yang dua/tiga kali lebih besar dari titik yang lain. Lagi-lagi aku
bertanya, itu apa yang dibakar? Apa kali ini ban truknya dilipat-gandakan
begitu ya jumlahnya? Sampai bisa menciptakan asap setinggi dan sepekat itu di
udara. Oke, hari ini, tanpa ada pengumuman demo apapun dari temen Indonesia, tapi
masih ada titik kepulan asap, mari kita simpulkan kalau demonstran itu masih
melakukan aksinya.
Internet apa
kabar?
Setelah bosan
menghitung titik asap itu, aku turun kebawah, mempertimbangkan pulsaku yang
tinggal 300 pond, apakah bisa untuk menelepon orangtua? Setelah sebelumnya
karena kemakan omongan temenku yang bilang internet nyala, padahal nggak,
langsung kupaketin habis, dan endingnya ‘belum’ kepake sama sekali sampe
sekarang.
Alhasil pulsa
300 pond itu alhamdulillah bisa tersambung. Dan setelah lima menit tanya kabar,
jelasin keadaan, menerima nasehat, dan titip salam buat semua keluarga,
diselingi sambat-sambat, pulsa itu habis. Wassalam.
Setidaknya lima menit itu bisa menjelaskan kalau mereka nggak perlu khawatir
aku kenapa-napa, begitu.
Hari-hari ini
aku memikirkan banyak hal. Merenung banyak. Termasuk kadang, beberapa pikiran
buruk itu muncul malam-malam, seperti,
Allah, sebenernya pantas nggak si aku ada
disini?
Sudan dengan
semua tempaan hidup dan tekanannya. Ditambah aku yang manut kata Mama untuk tidak kemana-mana. Aku tidak pernah tahu
sebenernya situasi politik yang sekarang sedang terjadi seperti apa. Majalah
El-Nilein edisi tahun lalu, apalagi tulisan Kak Jahja Ajjash yang banyak
memberikan gambaran tentang pemerintahan transisi yang lagi rumit-rumitnya. Ini
tahun kedua aku disini. Belum genap pula. Dan, tidak baik rasanya mematok
berapa tahun lagi aku tinggal disini. Jalani saja seperti air, mengalir terus,
dari hulu, sampai dia ketemu hilir.
Tapi, pertanyaan
itu muncul lagi. Jangan-jangan tempatku
memang bukan disini?
Aku biarkan
semua pertanyaan itu mengangkasa dipikiran. Ah,
nggak mungkin. Kan yang ngirim kamu kesini Allah, Ra. Semua masalah, kalau
kaitannya tentang dunia, pasti ada jalan keluarnya. Yakin. Harus itu. Batas berjuang
mentok kan, kalau kamu mati, ya mati di perjuangan itu sendiri.
Aku menghela
nafas. Cukup. Cukup. Cukup.
Dan malam itu,
Allah berbaik hati mempertemukan aku dengan temanku, sebut saja namanya Ningrum
wkwk, “Duduk situ, Ra ...” katanya. Keren. Aku baru tahu istilah untuk mengajak
orang deeptalks dari dia. Mencarikan
tempat yang lebih baik buat cerita.
Dan cerita itu
mengalir. Pindah topik ke topik lain. “Ada banyak yang lebih berat cobaannya
dari kita, Ra. Itu perjuangan para mutazawwij
di Sudan, apalagi yang sudah berhenti dapat kiriman, kamu bisa bayangin
nggak, survive mereka seperti apa?”
Aku menghela nafas. Bener banget. Kalau disini lagi nggak ada duit, makan
seadanya, yang makan juga mulut sendiri. Tapi kalau udah berkeluarga, anak-anak
makan seadanya, seperti makanan yang aku makan, misalnya, setiap hari dengan
menu yang nggak variatif, ya Allah ...
Loncat beberapa
topik malam itu. Tapi satu hal, aku jadi tahu, kalau, ya, yang kita rasa diri
kita paling menderita, itu salah. Ada banyak orang yang lebih diuji. Lebih
dibanting. Ini soal ketahanan, bro. Ketahanan bertahan hidup.
Satu quotes untuk episode ini, jadi cewe yang
hidup di Sudan, kamu cengeng boleh, manja
jangan!
Mari kalau mau
menangis sekarang. Ah, nggak ah ngantuk. Tidur aja.
Komentar
Posting Komentar