Tulisan Untuk Diri Sendiri (Eps. 04)
Setelah menatap
layar laptop berjam-berjam untuk baca novel Bang Tere Liye berjudul ‘Aku, Kau,
dan Sepucuk Angpau Merah’ dan baru berhenti ketika mataku terasa sakit dan
berefek pada kepalaku yang pusing, aku menyerah. Luar biasa. Berjam-jam dari menjelang
siang hingga menjelang sore. Novel beliau memang sejak dulu punya daya magis
yang bikin pembacanya nggak bisa berhenti sampai titik terakhir.
Jadi aku
terpaksa menutup laptop, memasang alarm hape, mau tidur sebentar gitu
maksudnya, untuk yang ini sebenernya mau lama juga nggak papa, sampe setidaknya
mata lebih tenang sedikit. Asli pusingnya sampe bikin denyut di area kelopak
mata. Hal yang paling sering terjadi kalau aku udah kebanyakan liat layar hape.
Dan aku bangun,
bukan karena dibangunin suara alarm, tapi karena rasa sakit itu, yang menjalar
ke kening kepala dan mata berdenyut-denyut. Aku tiba-tiba memejamkan mata lagi,
beberapa lama, bukan tidur, lebih ke mencoba membuat mataku nggak ngeliat
apa-apa, kali aja dia cape, berhari-hari ngeliat tulisan dan layar,
berturut-turut begitu. Tapi semakin nggak ada obyek yang ditangkap, rasa
sakitnya justru kerasa, kek semua tubuh hanya fokus pada denyut-denyut itu. Ya
Allah, aku jadi inget temenku, yang punya sakit lebih parah dari aku, tapi
tetep bisa senyum, tetep bisa survive, dari dulu, walaupun nggak aku sebutin
namanya disini, aku selalu kagum sama kekuatan yang Tuhan berikan ke dia buat
bertahan hidup. Dibalik rasa sakit itu. Semoga Allah ngasih dia kesembuhan dan pahalaa
yang banyaak sekali.
Semakin gede,
aku mulai belajar buat, memahami rasa sakit. Aku tipe orang yang gampang overthinking kalau sakit. Dulu aja bisa
nggak masuk sekolah berhari-hari dengan diagnosa penyakit yang aku buat
sendiri; merasa mau mati. Karena tiba-tiba dadaku rasanya nyeri sekali. Dan
mungkin, karena korban sinetron, yang biasanya orang yang mau mati itu megang
dadanya, terus kek kesakitan gitu, abis itu dibawa ambulan, dan detaknya
tiba-tiba berhenti. Tiiit .... Dia
meninggal. Dan akhirnya aku menyimpulkan bahwa sakitku juga akan berujung sama
seperti itu.
“Ustazah aku
izin pulang ya, ini dada aku sakit banget.” Aku kelas 3 SD dengan muka cemas
menghampiri guruku, menjelaskan kalau aku kayak mau mati. Di pikiranku malah
sudah muncul pikiran buruk arak-arakan keranda dengan penutup hijaunya
bertuliskan lafadz syahadat itu. Ya Allah jangan-jangan ini tanda-tanda ...
“Sakit apa?”
Guruku malah dengan santai mengartikan muka cemas dan mencak-mencakku.
“Itu Ustazah,
kayak mau ... mau mat ... mati.” Mataku berair pengen menangis. Sekarang aku
malah merasa kalau malaikat maut itu dekat sekali. Seperti sudah mengintai
nyawaku. Sungguh aku benar-benar merasa kalau sakit itu akan berujung seperti
itu.
Di rumah,
awalnya mamaku yang biasa-biasa saja menghadapi keluhanku yang selalu bilang
kerasa kayak mau mati, lama-lama jengah juga, ikut khawatir juga. Diagnosa apa
yang bikin anaknya kayak begini? Aku menjelaskan kalau ada yang nyeri. Itu
nyeri di bagian bercokolnya jantung bukan? Apa aku punya kesalahan disitu? Apa
itu tanda-tanda, tanda kalau nyawaku, nyawa aku ...
Beliau
menjelaskan, kalau dulu di usia yang sama, punya hal yang serupa yang terjadi
sama sepertiku, penyakit takut mati. Sampai nenekku membawanya ke dokter.
Karena keluhan mamaku yang seperti itu. Dan dokter justru bilang, itu justru
bagus, kalau kita takut mati, kita akan banyak beribadah. Karena ngerasa kalau
hidup di dunia ini nggak lama-lama. Dokternya justru ceramah nggak ngasih obat.
Ya kali ada obat peredam ketakutan orang pada kematian. Karena mamaku pernah
merasakan hal yang sama dan aku juga ngerasain hal yang sama, aku berdoa semoga
anak-cucuku nggak ikut pernah ngerasain penyakit takut mati ini, tapi emang
sholeh/ah orisinil wkw. Yang semua gerakannya udah terkoneksi denga ketaatan
pada Rabbnya. Kalau dah gitu keknya justru kangen kan sama kematian, soalnya
itu justru jalan buat ketemu sama Penciptanya.
Aku
bersungut-sungut setelah mendengar cerita mama. Ingin menangis. Enak kata
dokter. Huh. Adanya setiap waktu takut. Karena setiap rasa sakitnya datang, aku
selalu kebayang kalau tiba-tiba aku akan pergi dari dunia ini, semuanya gelap,
di alam kubur sendirian, apalagi kalau, kalau ...
Sampai akhirnya
suatu sore, aku keluar rumah, dengan nyeri yang masih ada, tetangga baru
samping rumahku bertanya, aku sakit apa. Aku kecil waktu itu dengan pintarnya
alhamdulillah nggak menjelaskan nama penyakit kocakku; kerasa mau mati. Tapi
menjelaskannya secara lebih ilmiah. Seolah tetanggaku itu ahli medis yang bisa
memberiku solusi. Benar saja, dia bilang, “Oh, itu masuk angin bisa jadi. Coba
kasih air anget ditaruh dibotol terus ditaruh diatas tempat nyerinya.”
Aku yang saking
senangnya ternyata penyakit itu karena masuk angin, buru-buru bilang terima
kasih, sambil tersenyum, mengangguk, pokoknya semua apresiasi nyata yang bisa
aku beri. Dan benar saja sarannya, aku hanya masuk angin. Besoknya ketika sudah
bisa pergi sekolah, aku bertemu ustazahku yang waktu itu aku pamiti waktu jam
pelajarannya dengan mata setengah menangis, “Loh Fara ... Gimana kemarin
katanya kerasa mau mati? Masih hidup?”
Aku tersenyum
salah tingkah. Ustazahku juga tersenyum.
Dan sejak itu
aku yang memahami kalau aku gampang sekali mendiagnosa penyakitku berlebih dan
mencomot asal alur kedepannya yang kebanyakan suudzon memutuskan lebih baik mencegah daripada mengobati. Hal yang
sama kalau aku bener-bener ngerasa sakit, selalu takut mati. Nanti takut mati
akan berujung pada takut tidur. Karena takut pas tidur kebablasan naudzubillah nggak bangun lagi. “Ma ...
Nggak mau tidur deh, Ma.” Suatu hari waktu masih SD dan sakit demam tinggi dan
badanku nggak enak semua, aku bilang itu berkali-kali pada mamaku, kayak radio
rusak yang lama nggak diservis audionya. Dari habis isya’ sampe tengah malem.
Ngodenya biar ditemenin melekan. Malah mamaku yang kesel sendiri dengernya, “Ya
udah kalau nggak mau tidur, nggak usah tidur, kok repot ...” Dan akhirnya aku
yang bangun sendiri sambil tidur disebelah beliau dan ujung-ujungnya juga
ketiduran. Setelah overthinking begitu
lama.
Semakin dewasa,
aku tahu kalau, yang paling bertanggung jawab terhadap diriku sendiri, bukan
orang lain, tapi ya aku sendiri. Apalagi di perantauan kayak gini, kondisi jauh
dari orang tua, di tempat yang orang normal aja harus survive untuk hidup dirinya, nggak mungkin kita mengandalkan orang
lain lebih besar dari diri sendiri.
Dulu di
Pesantren, sakit-sakit sedikit masih harus dipaksain karena ya paham kan,
banyak santri yang pura-pura sakit buat ngehindari kegiatan padetnya. Tapi
disini, sekecil apapun sakitnya, kek misal, ngerasa badanku nggak enak, kecil
aja kerasanya, aku yang akan mempertimbangin. Berhenti sekarang. Istirahat. Minum air yang banyak. Minum obat herbal
yang ada. Atau kamu paksain sedikit. Ntar malah kebablasan. Drop. Lebih banyak
yang harus dikorbanin. Pekerjaannya semakin banyak. Orang bisa jadi malah
direpotin. Orang tua khawatir. Dan kamunya, yang kalo sakit gampang
overthinking itu bikin semua tambah berabe.
Dari situ aku
bodo amat orang bilang aku sakit sedikit harus ngorbanin beberapa hal, kadang.
Atau justru emang harus nunda beberapa hal buat istirahat betar. Huft sakit
sedikit dan banyak itu kan relatif kata orang ya. Tapi kan kita sendiri yang
paling paham diri kita. Lagian kalau nggak kita yang nyetop, siapa lagi coba
yang mau peduli?
Dan
alhamdulillah malam ini aku bisa nulis lagi, jujur aku mulai kangen ada
internet gais, padahal baru beberapa waktu lalu aku bilang aku its fine kok. Ya
emang hati manusia gampang bolak-balik gitu ye. Kamu, aku, kita semua,
sehat-sehat ya, jaga kesehatan, mulai belajar hindari kebiasaan buruk, hiks
buat aku pribadi yang juga suka bgt konsumi mie instan, plis far, itu nggak
baek, buat jangka panjang. Bismillah semoga bisa ya ngehindari dikit-dikit.
Untuk yang
gampang begadang, apalagi begadanya sambil ngerokok atau minum kopi, atau
ngabisin serial drama sampe subuh, atau telfonan yang hotline aja kalah jam terbang, itu kebiasaan-kebiasaan yang harus
dipikirin untuk diri kamu sendiri. Harus sayang sama dirinya sendiri sebelum
sayang ke orang laen, itu poin pentingnya. Karena mau nggak mau kalau anda
sakit, yang berabe itu juga orang-orang terdekat anda. Kalau efeknya baru
kerasa jangka panjangnya itu juga lebih menyakitkan, why? Pertama belum tentu
orang yang anda relakan dengan mangabaikan diri sendiri adalah orang yang sama yang
menemani anda di masa depan. Selanjutnya. Karena berarti itu, justru
jangan-jangan, nanti suami/istri/anak laki-laki/anak
perempuan/cucu/mertua/menantu/siapalah dkk nya yang harus ikut menanggung
masa-masa sakit anda, menemani anda sakit, karena keteledoran masa muda. Jangan
menghabiskan masa-masa yang seharusnya diisi dengan rencana realisasi
mimpi-mimpi dengan bau-bau rumah sakit. Kecuali kalau udah jaga tapi masih
sakit, itu beda hal lagi.
Sih, ngomong
emang gampang, ditulisan apalagi. Praktek susahnya minta ampun. Itu kenapa
kadang konten dr. Zaidul Akbar kalau kebetulan lewat, refleks tutup mata,
karena takut serba salah. Nggak boleh nggak boleh. Pokoknya harus belajar buat
sayang sama sendiri. Nggak boleh sakit-sakit.
Dan mataku mulai
nyeri lagi gais. Oke seqian dulu. Tulisan untuk diriku sendiri episode empat.
Pada waktunya sendiri, aku pasti ketawa liat tulisan ini, tapi menulis adalah
pekerjaaan keabadian kan? Biar abadi kalau tulisan sejujurnya akan ngilfilin
pada waktunya.
Ya Allah beri
Faradilla umur yang panjang lagi berkah. Yang setiap incinya nambah kebaikan
dan bekal amal, bukan sebaliknya, ya, Ya Allah. Semoga hal yang sama terlimpah
juga bagi setiap orang yang mengaamiinkan.
Aamiin.
Nah sengaja aku
tulis aamiinya, biar doanya ke kamu yang baca juga. Xixixi.
Komentar
Posting Komentar