Tulisan Untuk Diri Sendiri (Eps. 01)

 


“Jadi apa rencanamu untuk masa depan?” tanya Ainun pada Habibie.

“Aku mau ke Jerman. Mau belajar disana. Suatu hari nanti aku mau kembali ke Indonesia. Aku akan membuatkan negeriku pesawat terbang. Hingga tak ada lagi pulau-pulau yang tak terjamah kita.” jawab Habibie.

Pertanyaan yang sama ditujukan. Hanya pada orang yang berbeda.

“Hmm rencana kedepan ya? Akuu mau berenang. Ya, ya berenang. Habis itu kita makan siang.” jawab Ahmad.

Ainun muda mendengus. Ini kali kedua dia menanyakan itu pada Ahmad. Dan jawabanya selalu tidak jelas. “Bukan itu maksudnya, Ahmad ...”

Ahmad bingung. “Ainun ... Tadi kan kita sudah berjanji, poin pertama, tidak boleh membahas hal yang serius. Poin kedua, jika itu dimulai, maka kembali ke poin pertama.”

 

Itu adalah salah satu scene paling aku suka di film Habibie & Ainun 3 yang mau tidak mau aku tonton ulang saat Sudan memberlakukan kondisi kemanan darurat dengan mematikan seluruh sistem komunikasi. Termasuk internet, pesan, dan telepon seluler. Beberapa tahun terakhir, aku punya kebiasaan tidak baik dalam membaca karya sastra dan film. Entah kenapa. Aku tidak bisa ‘bersabar sedikit’ untuk menjadi manusia yang mengikuti alurnya dengan hati. Halaman per halaman. Kejadian satu ke kejadian lain. Rasanya susah sekali. Kekepoan tentang keseluruhan film tanpa ingin membawa hati, mungkin, yang membuat pola menikmati dua hal itu aneh dan nggak baik.

Aku membaca prolognya, kemudian mubasyaroh aku buka epilog, nanti kalau aku kepo pada beberapa bagian di epilog, aku akan membuka buku secara acak lantas mencari jawabannya disana.  Hal yang sama yang terjadi saat nonton film. Jariku rasanya gemas sekali untuk tidak melakukan pola yang serupa, atau kalau tidak, mengatur garis lurus penanda durasinya, melakukan skip-skip yang membuat secakep apapun aktor ataupun artisnya hanya akan berujung pada ngadat-ngadat blur ngak jelas karena penyekipan yang selalu aku lakukan.

Iya iyaa orang lain benar. Kita tidak akan bisa memahami karya itu secara utuh. Pasti ada bagian terlewat yang seharusnya menutup puzzle-puzzle kecil dalam karya itu.

Hmm tapi siapa peduli? Aku juga hanya ingin tahu.

Tapi pemutusan komunikasi ini mau nggak mau membuat aku kembali membuka file film di laptopku. Utuh. No skip-skip club. Bisa ditebak, koleksi filmku hanya pengambilan acak dari file film temanku beberapa lama lalu. Tapi setidaknya menonton dua kali juga nggak masalah rasanya. Daripada bosen cuma tidur, baca novel, ngumpulin foto-foto anak elnilen yang kesebar di semua penjuru file galeri jadi satu folder utuh, lihat buku agama dikit, beberapa halaman udah capek, astaghfirullah.

Oke kembali ke scene film, mau nggak mau, Ainun ngingetin aku sama aku sendiri wkwk, maksudnya pertanyaannya. Hal tentang itu yang secara nggak sadar sering aku tanyain ke orang. Bukan kenapa-napa, kadang sadar atau nggak sadar kita menanyakan sesuatu yang sering kita tanyakan ke diri kita sendiri. Sebenarnya begitu.

Jadi apa rencanamu untuk masa depan?

Ainun menanyakannya pada dua laki-laki yang ada dalam hidupnya. Tapi, aku sebagai penonton, menanyakannya pada diriku sendiri. Apa? Mau seperti apa? DI kehidupan, mamaku selalu menyederhanakan mimpi-mimpi masa depan, apalagi jika orientasinya dunia, lantas merumitkannya pada orientasi yang lebih panjang, akhirat. Maka sehebat apapun pencapaian anaknya, itu bukan garis finish pada tolak ukur kesuksesan. Dalam istilah gaulnya ‘b aja’.

Dulu aku punya cita-cita tinggiiiiii sekali untuk bisa kuliah di Oxford, Stanford, atau kampus-kampus bonafide yang ada di dunia saat mamaku bilang, “Mending belajar bahasa arab ...”

Dulu aku juga punya cita-cita banyaak sekali. Yang selalu aku buat apalagi sebelum ujian tiba. Biar aku semangat belajar. Saat mamaku justru malah menekankan. “Sarjana atau nggak itu loh bukan masalah utama. Kamu jadi ibuk yang baek buat anak-anakmu itu baru luar biasa ...”

Berbeda dengan papa yang lebih kearah yaudah aku mau apa. Kalau nggak gitu tiba-tiba pada beberapa momen secara random mengarahkanku untuk menjadi perempuan karir yang bekerja. Bayangan Miss. Independent ibu kota yang bekerja di kawasan bisnis tower Sudirman, duh keren sejujurnya ga ada lawan. Tapi ... gimana sii gimanaaa kurang sreg aja begitu. Dunia kerja yang begitu akan banyak mengorbankan pilihan hidup selanjutnya. Promosi jabatan dan semua ambisi kerja yang nggak ada habisnya. Tau dari mana lu, Markonah? Tau dari novel si, haha.

Oke, jadi poin tengahnya. Sebanyak apapun arahan orang tua ingin melukis kita seperti apa. Pilihan itu sejujurnya ada pada diri kita. Diri aku sendiri mau seperti apa di masa depan. Dalam proses umurku yang baru menginjak kepala dua, alhamdulillah masih mudaa, semoga panjang umur dan berkah juga. Do’a sendiri aja kali kalean yang baca nggak mau do’ain kan. Eh tapi baik banget kalo yang mau ngaminin. mon maaf  gess, suka random gini emang kalo lagi nulis blog.

Oke tadi sampe ‘dalam proses umurku yang baru menginjak kepala dua’. Bentuk masa depan itu belum sempurna. Belum secara utuh ku buat. Aku punya. Cuma untuk menujunya belum totalitas menempuh usaha. Kadang aku harus menekan itu untuk realita hidup yang memilihku untuk fokus kepada pilihan Tuhan. Konsep yang juga masuk dalam aturan membuat masa depan, jadilah apa yang Allah inginkan, maka Allah akan jadikan kamu lebih dari apa yang kamu inginkan. No abis-abis waktu menyalahkan takdir, ya Faradilla ...

Tentang masa depan. Aku justru belajar membuatnya, memilihnya, menempuhnya, saat aku belajar islam. Di majlis-majlis ta’lim pesantren yang selalu menyiram hati teduh jiwa haha-hihi ku. Saat aku takjub pada kedalaman ilmu-Nya, menyelami apa yang ada didalamnya, kemudian masuk angin, pusing, mual, berhenti menyelam, maksudnya, maksudnya, pasti emang ada sakit dan capenya perjuangan gitu. Untuk kemudian pada saat kondisi iman yang tidak sekarat, mendatanginya lagi selalu memberi rasa yang sama; keteduhan.

Tentang masa depan juga. Aku jatuh cinta pada momen-momen saat aku dikirim ke desa-desa untuk berdakwah. Mengamati mata-mata masyarakat yang haus dengan Islam. Mengajarkan anak-anak mengaji huruf hijaiyah. Atau cerita-cerita Nabi yang kadang disambut dengan rengekan minta pulang yang bikin kepala berat sebelah.

Bagaimana bisa orang mencintai jalan dakwah? Padahal jalannya sangat menyakitkan. Dulu seseorang bertanya padaku hal demikian. Yang tentu saja tidak aku jawab. Karena aku juga tidak tahu jawabannya. Tapi pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Sering. Dan membuatku merenung. Kenapa? Ada orang yang sampai harus tinggal di pulau dengan akses yang terbatas, tidak dibayar mahal, mendapat musuh dan cacian, kenapa? Kenapa masih mau?

Mungkin, jawabannya adalah ... karena mereka tahu untuk siapa mereka berjuang. Karena mereka tahu ... untuk apa mereka melakukan. Islam memang membentuk manusia menjadi idealis dan berprinsip. Dan beberapa orang yang memilikinya, tak lagi hanya memiliki hidup orientasi yang sebentar, tapi jauh kesana, ke surga. Membangun visi dengan orang-orang yang mau menempuh perjalanan dan perjuangan yang sama.

Toh, pada hakikatnya. Setenang apapun jalan yang ingin kita lalui dari kehidupan. Dengan mengabaikan perjuangan-perjuangan supaya kita tak mendapat cacian. Lagi-lagi ini hanya dunia. Tidak mungkin makhluk berjalan disini tak mendapat porsi ujiannya dari Tuhan. Maka orang-orang tertentu, dengan realistis-agamisnya memutuskan, kalau begitu sekalian saja, emang yang ini bukan kampung halaman hakiki kita, jadi kalau sama-sama capek, sama-sama diuji, maka pilihlah capek yang nganterin kamu kepada keridhoan Tuhan, kalau sama-sama diuji pilih yang ujian itu mendatangkan pahala disisi-Nya, dan tentang dakwah yang menjadi amanah setiap muslim yang beriman, di dunia ini, kenapa tidak mengambil peran?

Hal itulah yang mungkin juga membuat Sang Bunda Khadijah mau menemani Rasul melewati pahit-getirnya. Tak menjauh barang selangkah. “Wahai Rasul ... Andaikan aku wafat dan tulang-tulangku bisa untuk membantu dakwahmu ...” katanya. Sebab ia tahu untuk siapa perjuangan ini. Untuk apa semua luka ini.

Jadi kemana haloo tulisan ini terarah? Intinya ... intinya. Masa depan itu kita yang melukis. Dan mau jadi apapun kamu di masa depan, dakwah itu adalah kewajiban setiap muslim. Walaupun dengan kadar jatuh cinta spesies bernama aku terhadap jalan itu, mungkin itu akan berpengaruh pada rencana masa depan yang aku susun. Dann dalam meraih mimpi itu, pasti ada ujian, bukan menggurui orang lain, tapi nguatin diri sendiri sih wkwk. Semakin kita besar, semakin kita akan bertemu banyaak sekali orang, yang harus kita perlakukan baik sebagaimana Rasul memperlakukan manusia. Tapi tidak semua orang itu, akan menjadi orang yang menemani kita, dalam berjuang.

Maka kamu harus mengenali dirimu sendiri, tau tujuan hidupmu, yakin sama mimpi-mimpimu. Nanti Tuhan sendiri yang akan mengirimkan orang-orang yang satu frekuensi dengan perjuangan itu. Walaupun bukan orang yang mungkin kamu suka/cinta. Nggak masalah. Apa manfaatnya justru ketika hanya mengandalkan rasa tapi tidak punya satu pemikiran dan tujuan yang sama? Eh eh napa nggak doa yang baik-baik aja si? Semoga orang-orang yang kita cintai adalah orang yang juga sefrekuensi. Hmm bole-bole, sih. Atau semoga kita diberi rasa cinta pada orang-orang yang satu frekuensi perjuangan. Hmm ini juga sabi. Mau nambahin doa? Gaslah doain aja dalam hati. Nih aku sumbang satu iman satu amin, wkw.

Dan pada endingnya, tulisan ini kuberi judul; tulisan untuk diri sendiri. Karena semua kebaikan yang ada disini dari Tuhan. Dan ditulis untuk aku yang belum sebaik itu. Terima kasih ya Allah, sudah ngasih hidup buat nonton film Habibie & Ainun yang bikin merenung dan punya semangat change be better, ehe. Semoga selama putus internet ini bobo-nya nggak kelebihan waktu. Mati lampu nggak papa. Mati hati sama mati internet jangan. Hiks. Mari kita lihat, perenungan apa lagi yang dihasilkan dari pemutusan internet ini. Wkwk.

Doa terbaik untuk Sudan dan semua manusia bernafas didalamnya. Semoga menjadi negeri yang aman dan berkah. Aamiin.

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer